Bahagia

Baru saja saya selesai membaca sebuah buku yang berjudul “The Book of Lost Things,” karya John Connolly. Sebuah buku yang dihadiahkan Wulan (adik saya) pada ulang tahunku yang ke-29 tahun 2008 lalu. Terjemahannya bagus, mudah dimengerti, dengan logika berpikir yang tepat.

Secara ringkas, buku ini berisi dongeng tentang anak lelaki bernama David, yang secara tidak sengaja tersesat ke sebuah negeri yang absurd. Negeri dimana Snow White adalah perempuan yang tidak terlalu menyenangkan, Putri Tidur marah karena pangeran menciumnya, dan Gadis Kecil berkerudung merah memang senang diculik dan jatuh cinta kepada serigala penculiknya. Negeri ini diperintah oleh sorang raja yang menyimpan rahasia-rahasinya dalam sebuah kitab misterius: Kitab tentang yang Telah Hilang.

David merutuki hidupnya. Dia merutuki kenapa Tuhan mengambil ibunya. Dia merutuki kenapa ayahnya akhirnya menikahi perempuan lain. Dia merutuki adik-adik tirinya yang lahir. Intinya dia tidak menikmati hidupnya.

Kehidupan sangatlah tidak aman di dunia absurd ini. Sekawanan setengah manusia setengah serigala berkomplot dengan sekawanan serigala untuk menggulingkan kekuasaan raja. Belum lagi kawanan troll yang suka berbohong. David juga bertemu dengan Binatang yang suka membunuh. Banyak mahkhluk. Namun, ada satu yang memang paling paling misterius, dialah si Lelaki Bungkuk yang selalu ada di setiap kejadian dimana David hampir mati.

Di negeri absurd ini, David bertemu dengan beberapa manusia yang membantunya bertahan hidup. Ada si Tukang Kayu, yang telah menjelajah negeri ini dan hapal seluk beluknya. Ada Roland, prajurit yang mencari sahabatnya Raphael yang konon telah mati. Ada Fletcher, dari sebuah desa dimana David menyelamatkan penduduk desa itu dari serangan Binatang pemangsa. Dan tentu saja sang Raja, yang tidak lain tidak bukan adalah saudara ibu tirinya.

Menarik sekali.

Aku banyak terseyum simpul. Betapa sebenarnya hidup itu cukup simpel.

“Tak seorangpun bisa memaksamu berbuat jahat. Kau memang punya sifat jahat di dalam dirimu, dan kamu menurutinya. Manusia akan selalu menurutinya” (Lelaki Bungkuk). Saya pikir, manusia haruslah bisa mengenali dan menangani sisi jahatnya untuk bisa hidup bahagia, karena Tuhan juga memberikan sisi jahat itu ketika manusia diciptakan. Tinggal sisi yang mana yang ingin kita beri makan lebih banyak dan kita pelihara.

Manusia juga harus bisa mengalahkan ketakutan-ketakutannya untuk bisa menikmati hidup dengan optimal. Bahkan, apa yang kita takutkan dengan amat sangat biasanya tidak terjadi.

Yang terakhir, tentu saja, kadang manusia tidak atau lupa bersyukur dengan baik atas apa yang dia miliki. Dia sibuk merutuki keadaan dan berpikir.. Andai saja kehidupanku lebih baik. Manusia, saya juga termasuk di dalamnya, tidak luput dari membandingkan hidupnya dengan orang lain. Tidak apa-apa, asal tidak terpukau akan keberhasilan atau kebahagiaan orang lain. Karena, saya yakin, ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia juga telah meneteskan fitrah bahagia itu ke dalam hati dan gen manusia. Tinggal bagaimana kita mengakses bahagia itu. Salah satunya, saya pikir, adalah dengan syukur.

Syukur karena kita masih hidup, syukur karena masih punya waktu untuk menikmati matahari terbit dan tenggelam, untuk menikmati senja emas di ufuk barat, untuk menikmati tawa renyah ayah ibu, kenakalan-kenakalan adik kakak, kejutan anak-anak kecil, cinta suami/istri/pasangan, dan waktu yang tercipta oleh kawan-kawan yang dikirim Tuhan. Syukur membuat kita makin kaya.. saya percaya itu..

Namun, dengan berlalunya waktu, David mendapati bahwa setidaknya si Lelaki Bungkuk tidak berbohong tentang satu hal: hidupnya penuh dengan kesedihan besar, juga kebahagiaan besar, penderitaan dan penyesalan, sera kemenangan dan kepuasan.

Bahagialah karena hidup.. hiduplah, lalu berbahagialah..

Fayetteville, 28 Juni 2009 13:08
ketika sedang menikmati surga dunia bernama keluarga dan cinta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *