Tsunami, Enam Tahun yang Lalu

Bertahan (diambil dari http://simpleisperfect.files.wordpress.com/2010/03/masjid-pasca-tsunami-aceh-20041.jpg)

“Gempanya keras sekali, hampir tidak ada yang bisa berdiri atau duduk. Abis gempa, gue masih sempat pulang ketemu ayah, mamak, Wawak Anik, Meutia, Furqan sebelum tsunami terjadi. Tidak lama, orang berlarian dari arah laut dan bilang, ‘air naik, air naik’. Gue ga tau apa yang dimaksud. Air laut bisa naik? Akhirnya kita semua lari. Ayah lari dengan mamak dan Furqan. Wak Arnik lari dengan Meutia. Gue lari naik motor. Masih tergiang ucapan mamak yang minta gue lari sama Furqan.”

Cerita di atas bukan kisah fiksi. Cerita di atas adalah pengalaman pribadi seseorang yang selamat dari tsunami 2004 di Aceh, bencana besar yang menewaskan banyak sekali umat manusia dan mengakibatkan kerugian yang tidak sanggup dihitung dengan jari.

Ini bukan lagi untuk mengulang-ulang cerita-cerita ini untuk menarik simpati, atau membuat hati bersedih lagi. Ini hanya sebuah refleksi perjalanan hidup agar kita bisa terus menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Saiful kehilangan ayah, ibu, dan adik laki-lakinya. Di keluarga besar, dia kehilangan beberapa keluarga. Ada satu keluarga omnya yang hilang semua, bahkan bekas rumahnya pun sudah menjadi bagian dari laut Ulee Lheu. Di keluarga yang lain, ada seorang sepupu yang tinggal seorang diri saja. Dalam 15 menit hidupnya berubah. Air laut menyapu bukan hanya keluarganya, tapi rumah, dan juga memporakporandakan tokonya.

Dua setengah tahun saya pacaran dengannya sebelum akhirnya menikah, sedikit banyak, saya mendengar cerita darinya. Sedikit demi sedikit dia membuka hijab cerita dan perasaannya itu. Pernah suatu ketika dia bilang bahwa air mata tidak bisa keluar lagi setelah kejadian itu. Yang terpikir saat itu adalah bagaimana nasib keluarganya. Di hari yang sama, dia bertemu seorang adiknya, Meutia, dan tantenya, Wak Arnik, yang hidup tapi luka-luka. Tiga adiknya yang lain selamat karena tidak berada di daerah tsunami. Ayah, mamak, dan adiknya yang paling kecil, Furqan, belum ada yang tahu bagaimana nasibnya. Berbulan-bulan, dia dan keluarga besarnya mencari mereka, dari tenda-tenda pengungsi, sampai rumah-rumah saudara dan kawan-kawan ayah ibunya. Harapan terus ada, tapi setelah enam tahun, dia memutuskan untuk tidak lagi berharap banyak.

Dalam sebuah pembicaraan, dia mengatakan yang paling membuatnya sedih bila kepikiran lagi peristiwa itu adalah bahwa jasad ketiga anggota keluarganya tidak ditemukan sehingga dia tidak bisa menguburkannya dengan baik. Juga perasaan bersalah karena dia tidak mengajak adik terkecilnya lari bersama.

Ada satu hal yang juga menjadi pertanyaan banyak anak di dunia ini bahwa apakah kita sudah menjadi anak yang baik dan membanggakan di mata orang tua kita. Sampai akhir hayat ayah ibunya, Saiful tidak pernah tahu pasti. Dia juga bilang, dia sudah tidak bisa lagi minta maaf kepada orangtuanya juga adik kecilnya. Apalagi manusia itu sumbernya salah.

Saya, yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi Saiful, belajar banyak dari dia. Bagaimana dia terus bertahan hidup dan melanjutkannya dengan tetap terhormat. Bagaimana dia perlahan-lahan memaafkan dirinya sendiri. Bagaimana dia terus melanjutkan amanah ayah mamaknya menjaga adik-adiknya dan menjadi wali nikah dari 4 orang adik perempuannya. Pekerjaan yang tidak mudah.

Dia pernah bilang bahwa dia masih masuk kategori beruntung. Beberapa kawannya kehilangan istri-istrinya di tengah mereka sedang hamil. Beberapa kawannya, termasuk sepupunya, kehilangan seluruh keluarga intinya dan menjadi sebatang kara. Dia masih beruntung adik-adiknya masih hidup. Namun, saya yakin, kehilangan tidak akan pernah mudah, apalagi kehilangan orang-orang yang kita cintai dengan hidup kita sendiri.

Tuhan berbicara lewat fenomena alam semesta seperti gempa, tsunami, banjir, kebakaran, dan lain sebagainya. Manusia yang berpikirlah yang bisa menangkap apa yang Tuhan coba katakan. Lewat tsunami, Dia coba ingatkan kita lagi untuk tidak pernah lupa terhadap orang-orang yang kita cintai. Tidak lupa mendoakan, berbuat baik, mengajak kepada kebaikan, mencengah berbuat kemungkaran, dan juga tidak lupa mengekspresikan rasa cinta dan kasih kita untuk mereka. Dia coba ingatkan kita lagi bahwa manusia, walau diciptakan sempurna, juga masih makhluk kecil yang lemah. Manusia tetap tidak bisa mengalahkan bumi yang bergoyang ketika gempa, atau hempasan air setinggi pohon kelapa. Dan seringkali, kita masih terus saja sombong.

Di sisi lain, tsunami membawa berkah, seperti halnya semua hal mempunyai dua sisi. Bantuan datang dari banyak pintu, melibatkan orang-orang dari berbagai penjuru dunia yang bicara berbagai bahasa. Damai pun tercipta di bumi tanah rencong setelah konflik lama antara rakyat Aceh dan pemerintah pusat di Jakarta sehingga pembangunan kembali Aceh bisa berjalan dengan relatif aman. Bagi orang-orang yang pernah ke Aceh bisa melihat dan merasakan sendiri.

Terlepas dari semua berkah yang juga dibawa tsunami, enam tahun setelahnya, rasa sedih itu masih ada walaupun kadarnya mungkin berkurang. Waktulah yang akan sedikit demi sedikit menyembuhkan luka itu. Yang bisa dilakukan hari ini adalah fokus pada hidup sejahtera yang harus terus diukir, menjadikan mereka semangat, dan terus mendoakan mereka. Yang bisa dilakukan hari ini adalah hidup dan merayakan kenangan-kenangan bahagia yang pernah tercipta bersama mereka.

Semoga semua yang meninggal di hari tsunami meninggal syahid dan sekarang sudah berada di sisi Tuhan yang paling baik. Amin. Dan semoga, yang masih ada di bumi tidak pernah lupa mengambil pelajaran dari peristiwa ini dan menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Wallahualam.

DC, RDS 24 Desember 2010 5:36PM
(5:36 pagi WIB, 1 hari menjelang enam tahun setelah tsunami 2004)

mengenang Ayah Marzuki Daud, Bunda Nurhayati, dan adinda Furqan
semoga selalu tersenyum dari surga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *