Menjadi Mayoritas yang Anti Penindasan dan Minoritas yang Pemberani

Indonesia Raya (Google Earth)

Saya tidak pernah memikirkan ini, sampai pergi ke Amerika. Di negara yang mayoritas beragama Kristen dan Yahudi serta berkulit putih, saya mendadak menjadi minoritas karena saya seorang Indonesia, muslim dan berkulit coklat. Saya hampir tidak pernah merasakan bagaimana rasanya hidup menjadi minoritas di Indonesia karena saya orang Jawa yang Muslim dan belum pernah tinggal di banyak tempat dimana saya bisa menjadi minoritas.

Indonesia memang rumah bagi lebih dari 500 suku bangsa dengan 700 bahasa dan berbagai macam agama serta kepercayaan. Namun, karena saya tinggal di pulau Jawa, saya merasa menjadi mayoritas. Apalagi didukung oleh populasi Muslim yang hampir ada di mana-mana sebagai akibat dari 85 persen orang Indonesia beragama Islam (setidaknya begitu menurut sensus). Saya pernah sebentar merasa menjadi minoritas ketika saya berada di Bandung selama 7 tahun tanpa mengerti bahasa Sunda dan di Aceh selama 3 tahun, dimana saya juga tidak mengerti budaya dan bahasa Aceh. Namun ketika saya di Amerika, hal ini lebih terasa lagi.

Menjadi mayoritas di Indonesia tentunya punya banyak kelebihan. Hampir semua makanan yang ditemukan adalah makanan yang halal. Belum lagi, saya juga dimanjakan oleh mesjid dimana-mana. Solat menjadi hal yang mudah dilakukan karena kantor-kantor, mal, dan tempat-tempat publik lainnya menyediakan fasilitas ini. Jangan lupa libur-libur nasional yang berkaitan dengan hari keagamaan.

Saya memakai kerudung sehingga membuat saya semakin mudah dikenali kalau saya seorang Muslim. Beberapa orang bisa menebak saya dari Indonesia karena tahu Indonesia adalah negara yang sebagian besar populasinya memeluk agama Islam. Kadang saya merasa sangat minoritas ketika saya merasa sulit menemukan daging yang halal di restoran-restoran. Juga ketika saya harus menjamak solat karena tidak ada tempat yang sesuai untuk beribadah. Dan terlebih, bila kerudung saya diperiksa di bandara karena faktor keamanan.

Saya bukannya mengeluh. Toh kalau saya berani, saya bisa meminta sedikit pengertian. Misalnya saja, profesor-profesor saya selalu mengambil waktu untuk istirahat sebentar di sela-sela waktu solat Dzuhur dan Ashar agar saya bisa solat. Ketika Ramadhan datang, saya juga pernah minta istirahat di kala buka puasa bila kuliah malam. Di kala kawan-kawan Amerika saya membuat pesta, saya selalu minta untuk ada minuman non-alkohol dan hidangan vegetarian sehingga saya bisa menikmati pesta itu. Mungkin memang harus begitu bila menjadi minoritas. Harus berani mengatakan bahwa minoritas juga punya hak untuk menjalankan kebiasaan-kebiasaannya.

Ketika Ramadhan datang, perasaan menjadi minoritas juga sering datang. Tidak ada bunyi orang mengaji atau keliling kampung membangunkan sahur. Tidak ada acara pengajian di TV kecuali kalau saya nonton TV Indonesia di internet. Tidak ada ngabuburit, dan tentunya, makanan-makanan enak untuk berbuka puasa. Ketika hari solat Ied datang dan tidak berbarengan dengan libur kuliah, bisa jadi banyak yang tidak bisa solat Ied.

Namun, beruntung saya bisa merasakan menjadi minoritas. Saya belajar untuk menjadi pemberani dan menjadi contoh bagaimana orang Indonesia dan Muslim menjalankan kebiasaannya. Apalagi saya tinggal di negara bagian Arkansas di selatan Amerika Serikat yang terkenal konservatif, pusat peradaban Kristiani, dan pernah mengalami perbudakan. Mereka jarang bertemu orang-orang dari negara dan kebudayaan lain.

Saya juga akhirnya lebih mengerti perasaan-perasaan minoritas di Indonesia. Misalnya saja orang yang beragama Hindu dan Budha, yang bisa jadi tidak menemukan pura dan vihara semudah saya menemukan mesjid. Atau jemaat Ahmadiyah, terlepas dari kontroversial ajarannya, yang sering dibakar tempat ibadahnya. Atau umat selain Islam yang mungkin terganggu tidurnya karena bunyi ajakan sahur di pagi hari di bulan Ramadhan.

Juga, tampaknya orang-orang non-Jawa belum bisa jadi presiden, setidaknya ini terbukti di beberapa kali pemilihan umum. Habibie pernah sebentar, namun digoyang-goyang dan turun. Begitu pula Pak Jusuf Kalla, yang terbukti cepat dan tanggap terhadap masalah-masalah kebangsaan, namun tidak terpilih. Kalau bukan Jawa, tampaknya belum bisa.

Jangan-jangan, tanpa disadari, menjadi mayoritas menjadikan orang-orang lupa untuk terus mengasihi yang minoritas karena suara terbanyak belum tentu yang paling baik dan benar. Demokrasi juga menunjukkan itu, bahwa yang dipilih oleh mayoritas belum tentu yang paling sakti atau berbudi luhur.

Bangsa Indonesia harus terus belajar bahwa Indonesia disusun oleh keragaman. Keragaman lah yang membuat Indonesia, sehingga tanpa keragaman, Indonesia tidak akan ada. Ini adalah hubungan sebab akibat. Indonesia ada karena ada keragaman yang menyusunnya. Bangsa ini harus terus belajar bahwa Indonesia adalah ibu bagi lebih dari 500 suku bangsa yang mempunyai lebih dari 700 bahasa dan lebih dari 5 agama yang diakui pemerintah saja. Bangsa ini harus sadar bahwa mayoritas sering kali memaksakan kehendak dan lupa bertoleransi. Padahal, semua budaya mengajarkan kebaikan dan toleransi sebagai hukum yang berlaku di mana saja.

Sungguh pengalaman yang luar biasa. Pengalaman yang semoga memberikan saya kesempatan menjadi berani ketika saya minoritas dan tetap anti kekerasan ketika saya menjadi mayoritas.

C) RDS, somewhere in USA, 2010

4 Replies to “Menjadi Mayoritas yang Anti Penindasan dan Minoritas yang Pemberani”

  1. Menarik tulisannya Wi! Hal yang sama juga aku rasakan wkt aku di US saat mereka mengalami sep 11 attack. Di saat kecurigaan terhadap muslim sangat besar, sebuah senyuman dari seorang warga amerika yang berpapasan di jalan sangat berarti rasanya. Jadi belajar banyak bagaimana untuk menjadi mayoritas yang baik terhadap minoritas.

  2. @ela
    Mbak Ela, makasih komennya 🙂 wah, kamu sempet merasakan ya waktu itu di US? aku ga kebayang gimana. ngeri ya pasti jaman2 itu. gimana orang saling curiga. betul, Mbak. harus banyak belajar banget gimana jadi mayoritas yang baik. dan juga, ketika jadi minoritas biar ga terjebak juga menjadi minoritas yang penakut, atau bahkan tiran. salam hangat ya Mbak. semoga bisa ketemu lagi.

  3. ijin mantau mbak…wah gitu yah sensasinya klo jd minoritas di kampung orang gk beda jauh ketika sy short course di India yang mayoritas Hindu,susah banget cari makanan halal

    1. iya. jadi kita bisa berempati dengan minoritas yang ada di Indonesia, terutama yang tertindas. bukan yang juga melakukan tirani minoritas. hehehe.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *