Sempurna, Semoga

untuk Saiful Azhari

untuk mencintaimu
mereka harus menjadi aku

karena tidak ada yang bisa tahu
cara sempurna mencintaimu
selain aku

karena tidak ada yang bisa mencintaimu
sekeras kepala cintaku

karena cintaku padamu tidak pernah sederhana
cintaku bukan api yang membara
bukan air yang mengalir
bukan pula angin yang bertiup
dan tidak berbentuk laksana tanah

namun,
cintaku adalah nafas pagi
yang menghembuskan semangat untuk tak pernah berhenti
cintaku adalah sinar mentari
hangat sinarnya namun tidak membakar
cintaku adalah aroma malam
meneduhkan lelah dan memberikan ketenangan
cintaku adalah debur ombak
berkejar-kejar tak kenal waktu
cintaku adalah salju kutub
dingin dan menuju abadi

karena hanya aku yang tahu
bagaimana caranya mencintaimu
dengan sempurna..

c) RDS, Jakarta 050306, 2:40am

Menikah = Lari Marathon

ditulis 28 Juni 2006

Kesimpulan ini didapat dari obrolan-obralan panjang saya dengan seorang sahabat di masa-masa kuliah dulu bahwa menikah bisa dianalogikan dengan lari marathon, sebuah perjalanan yang cukup panjang. Lari marathon yang berasal dari zaman Yunani kuno dulu berjarak 40 km, jarak yang agak jauh bila ditempuh dengan berlari. Alkisah, serdadu Yunani PHEIDIPPIDES berlari dari Marathon ke Athena untuk mengabarkan kepada warganya bahwa mereka telah mengalahkan pasukan Persia dalam peperangan Marathon pada tahun 490 SM.

Kembali kepada persoalan menikah tadi. Menikah adalah sebuah proses perjalanan yang panjang. Maksud saya, bila berbicara menikah, umumnya berarti bicara soal kebersamaan dalam periode yang tidak sebentar. Seperti halnya lari marathon yang memerlukan kesiapan fisik dan mental sebelum mengikutinya, begitu pula ketika dua orang dengan pranata bernama pernikahan. Untuk berlari, diperlukan sepatu olahraga yang nyaman, bukan stiletto yang indah. Jadi, sepatu stiletto yang bagus dan mahal sekalipun tidak akan bisa dibawa lari marathon. Bila kita sudah bisa menemukan sepatu kets yang nyaman dipakai, pun ternyata kita masih harus tetap mempertimbangkan warnanya. Karena di kala berlari yang jauh, kita pasti akan melihat sepatu kita setiap saat. Warnapun harus memang yang kita suka. Continue reading “Menikah = Lari Marathon”

Curiosity Kills the Cat

Pepatah ini sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Bisa diterjemahkan bebas menjadi “keingintahuan bisa membunuh kucing”. Konon, kucing punya sembilan nyawa. Namun, sembilan nyawa tadi bisa melayang ketika kucing menggunakannya untuk memuaskan rasa keingintahuannya.

Keingintahuan! Tampaknya manusia memang dilahirkan Tuhan dengan fitrah itu. Sembilan bulan sepuluh hari, manusia bayi berada di perut ibunda dengan tempat yang gelap dan sempit. Ketika lahir, dunia gemerlap tentu saja menyimpan banyak misteri yang menarik untuk dicari tahu apa itu. Tentu saja, keingintahuan membuat kita mampu mencari tahu seperti apa dunia ini.

Maka, manusia yang diberi kelebihan dari makhluk-makhluk Tuhan lain berupa akal berlomba-lomba mencari tahu seperti apa dunia itu. Lewat pemikiran-pemikiran, lahirlah penemuan-penemuan luar biasa, seperti listrik, lampu, telepon, mesin uap, dan lain sebagainya yang membantu peradaban manusia. Ilmu-ilmu pengetahuan juga muncul satu demi satu, ilmu kedokteran, ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu astronomi dan lain sebagainya. Terus berkembang sampai sekarang ini dimana dunia sudah sangat modern dan semakin tanpa batas. Continue reading “Curiosity Kills the Cat”

Tentang Cinta yang Keras Kepala

Apakah sungguh kamu
cinta yang pernah tidak selesai itu
yang terus menantangku
bekerja keras mencerna setiap detilmu

Apakah memang kamu
mimpi bawah sadar
yang membuatku tidak ingin bangun
dari tidur panjang musim gugur

Apakah benar kamu
yang pernah aku cari
entah di dalam perjalanan hidupku yang mana
ditemani entah ke berapa gelas cangkir kopi

sosokmu terekam sempurna di kepalaku
tawamu terngiang-ngiang di telingaku
baumu menempel di hidung maka aku tidak lupa

tidak lelah menjaga hatimu
karena tidak lelah juga kamu menjaga hatiku
maka, kita akan lulus ujian waktu
yang akan menguji
keras kepalanya cinta itu

Washington, DC 11 November 2010

untuk yang juga punya sebuah cinta keras kepala

Belajar dari Tifatul

Tulisan ini bersifat refleksi semata dari kejadian jabat tangan Tifatul dan Michelle Obama. Selanjutnya Tifatul akan saya singkat dengan Tif.

“Harusnya, kita berterima kasih lho Wi sama Fir’aun. Kalau tidak ada yang mengambil peran di sisi yang tidak baik, maka kita tidak akan tahu bagaimana menjadi baik.”

Kalimat itu sering terngiang-ngiang di telinga saya. Dalam perjalanan pulang dari kantor beberapa tahun yang lalu, ketika saya menumpung mobil Ariono Margiono kawan saya, dia mengatakan hal itu. Hal yang membuat saya tertegun untuk kesekian kalinya.

Saya kemarin hampir keracunan berita Tifatul Sembiring yang berjabat tangan dengan Michelle Obama. Di banyak media, termasuk media asing, berita ini terus bermunculan. Bahkan di pagi ini, di dua suplemen koran terbitan Washington Post, berita ini masuk juga. Saya tidak kenal Tifatul, saya hanya tahu dia lewat pemberitaan media. Saya juga tidak ada di tempat kejadian, saya hanya melihat berbagai beritanya dimana-dimana, juga video-nya di Youtube.

Terus terang, saya sempat merasa sangat malu. Saya jarang malu menjadi orang Indonesia bahkan dengan banyak sekali masalah di dalamnya. Tapi kali ini, rasanya kok begitu. Saya belum menganalisis kenapa saya merasa begitu, tapi setidaknya saya punya beberapa asumsi. Continue reading “Belajar dari Tifatul”

Jangan!

Jangan menyerah dulu
Walau presidennya goblok
Dan parlemennya tukang korup

Jangan menyerah dulu
Kebaikan masih ada
Walau harus kita gorek
Satu per satu dalam jerami

Jangan mati dulu
Masih ada yg tersisa
Untuk diselamatkan
Yang miskin, tertindas, tidak bisa makan, dan sekolah

Jangan mati dulu
Karena menyerah
hanya milik pengecut

Jangan mati dulu
Karena solusi Indonesia
mulai dari aku, kamu,
dan yang masih nurani

Jangan! (dari http://abitworldalittlefinger.blogspot.com/)

@DC, 10/21/2010

a proud Indonesian that is ashamed of her president and parliament

Percakapan di Sebuah Musim Gugur

Selamat pagi, Tikus Mondok
Apa kabarmu pagi ini? Kamu belum kedinginan?

Tikus mondok montok yang sedang berlari, lantas berhenti sejenak
Menengok dan berkata
Segini belum apa-apa, Perempuan. Eh, kamu yang suka melihat-lihat kita dari balik jendela itu ya?

Aku mengerinyatkan dahi
Kamu masih ingat saja
Tikus mondok tersenyum.
Iya, tidak banyak yang suka melihat kami mondar-mandir bermain bersama tupai.
Tapi aku yang harusnya bertanya. Kamu kedinginan tidak?
Musim gugur datang bersama hembusan angin yang menggugurkan daun, juga menusuk tulang
Juga tidak lupa hujan ikut serta, turun, membawa sendu, yang membuatmu kadang merindu

Aku menjawab
Aku masih bertahan. Apa kamu lupa aku ini kekasih musim gugur?

@RDS, 9 Oktober 2010, pada sebuah musim gugur di Washington, DC

Musim gugur telah tiba (by Saiful)

Perang Untuk Apa: Green Zone

An unjust peace is better than a just war.

Marcus Tullius Cicero


Green Zone bisa jadi hanya sekedar film perang biasa. Tapi buat saya film ini sungguh personal.

Dibintangi oleh Matt Damon, film ini mengambil tempat di Baghdad Irak beberapa saat setelah perang terjadi. Perang

Green Zone (www.imbd.com)

yang dikobarkan Amerika dan sekutu terhadap Irak atas tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal yang katanya dikembangkan oleh Irak dan siap diluncurkan. Tuduhan yang menurut banyak orang, miskin bukti.

Chief Warrant Officer Roy Miller adalah pemimpin kelompok tentara Amerika yang ditugaskan mencari senjata pemusnah massal tersebut. Miller beberapa kali merasa terbohongi oleh intel-intel karena semua tempat  yang katanya terdapat senjata tersebut, ketika didatangi, nihil adanya. Pernah Miller datang ke sebuah tempat. Setelah melalui baku tembak dan sampai di dalamnya, ternyata tempat itu adalah bekas pabrik WC.

Miller tentu tidak tinggal diam. Dalam sebuah rapat koordinasi bersama pemimpin angkatan perang di Irak, Miller mempertanyakan kerja intel yang mencari letak senjata tersebut. Tentu saja dia dan pasukannya tidak mau menjadi sasaran tembak orang-orang Irak ketika mencari senjata tersebut. Dia juga lama-lama curiga jangan-jangan apa yang dituduhkan dunia bahwa keberadaan senjata itu tidak benar adanya, sungguh terbukti. Continue reading “Perang Untuk Apa: Green Zone”

Epik Seorang Pembunuh Bayaran: Leon the Professional

Waltzing Matilda, Waltzing MatildaLeon (courtesy of http://www.imdb.com/media/rm3040321024/tt0110413)
“You’ll come a-Waltzing Matilda, with me”
And he sang as he watched and waited ’til his billy boiled,
“You’ll come a-Waltzing Matilda, with me”.

Mathilda. Begitu nama ini muncul di film Leon the Professional, saya langsung ingat lagu ini. Lagu yang juga disebut-sebut Wikipedia sebagai lagu kebangsaan tidak resmi Australia. Namun, tulisan ini, bukan soal Mathilda yang dimaksud dalam lagu ini.

Mathilda baru 12 tahun ketika petugas DEA (Drug Enforcement Administration) atau organisasi di Amerika yang mengurusi perdagangan obat termasuk obat bius menembaki keluarganya sampai mati. Ayah kandungnya, ibu tirinya, kakak tiri perempuan, dan adik kandung laki-lakinya habis tergeletak tak bernyawa ketika Mathilda sedang pergi berbelanja. Gerombolan oknum DEA ini berjumlah kira-kira empat orang. Mereka datang meminta pertanggungjawaban dari bapak Mathilda yang dititipi obat bius oleh mereka dan ternyata dipakainya sendiri. Stansfield, begitu nama petugas DEA yang dimainkan apik oleh Gary Oldman ini, tampaknya bukan hanya menjadi petugas penegak hukum, tapi juga ikut berbisnis di dalam bisnis obat bius yang menggiurkan itu. Mungkin dia punya prinsip untuk sembari menyelam, minum air. Continue reading “Epik Seorang Pembunuh Bayaran: Leon the Professional”

Sedikit Kisah Cinta

Pengantin Fesbuk, cover (courtesy of Genis Ginajar)
Pengantin Fesbuk, cover (courtesy of Genis Ginajar)

tulisan ini, karya saya, sudah dipublikasikan di buku karangan Dokter Genis Ginanjar, Pengantin Facebook. Dipublikasikan di blog ini dengan seizin penulis. Silakan kontak Dokter Genis Ginanjar (genislife@yahoo.com), untuk membeli. *promosi

sebuah pengalaman pribadi

Saya itu sempat tidak mau menikah. Sempat takut berkomitmen di bawah payung bernama pernikahan. Sampai saya bertemu suami saya ini.

Saya bertemu dengannya tahun 2005 di Banda Aceh. Ketika itu saya bekerja sekitar satu bulan di Aceh. Awalnya biasa saja. Tapi lama-lama jadi tidak biasa. Begitulah saya bisa menggambarkan bagaimana pertemuan saya dengan suami saya. Di waktu yang singkat, kami sepakat untuk saling mengenal dulu. Kami sempat berhubungan jarak jauh sekitar enam bulan sebelum akhirnya saya bisa mendapatkan kerja dan pindah ke Aceh.

Hampir tiga tahun saya menjalani proses pengenalan. Pacaran mungkin bahasa gaulnya. Untuk saya, penting sekali untuk setidaknya bisa mengenal karakter calon saya itu, walaupun tidak ada standar yang baku berapa lama sebuah pasangan harus saling mengenal sebelum menikah. Tapi buat saya, ini adalah syarat mutlak, karena saya tidak mau memilih kucing dalam karung. Memang mengenal adalah proses seumur hidup sampai mati, tapi setidaknya, saya memulai prosesnya dengan cara-cara yang saya dan dia percaya baik. Continue reading “Sedikit Kisah Cinta”