Belajar dari Tifatul

Tulisan ini bersifat refleksi semata dari kejadian jabat tangan Tifatul dan Michelle Obama. Selanjutnya Tifatul akan saya singkat dengan Tif.

“Harusnya, kita berterima kasih lho Wi sama Fir’aun. Kalau tidak ada yang mengambil peran di sisi yang tidak baik, maka kita tidak akan tahu bagaimana menjadi baik.”

Kalimat itu sering terngiang-ngiang di telinga saya. Dalam perjalanan pulang dari kantor beberapa tahun yang lalu, ketika saya menumpung mobil Ariono Margiono kawan saya, dia mengatakan hal itu. Hal yang membuat saya tertegun untuk kesekian kalinya.

Saya kemarin hampir keracunan berita Tifatul Sembiring yang berjabat tangan dengan Michelle Obama. Di banyak media, termasuk media asing, berita ini terus bermunculan. Bahkan di pagi ini, di dua suplemen koran terbitan Washington Post, berita ini masuk juga. Saya tidak kenal Tifatul, saya hanya tahu dia lewat pemberitaan media. Saya juga tidak ada di tempat kejadian, saya hanya melihat berbagai beritanya dimana-dimana, juga video-nya di Youtube.

Terus terang, saya sempat merasa sangat malu. Saya jarang malu menjadi orang Indonesia bahkan dengan banyak sekali masalah di dalamnya. Tapi kali ini, rasanya kok begitu. Saya belum menganalisis kenapa saya merasa begitu, tapi setidaknya saya punya beberapa asumsi. Continue reading “Belajar dari Tifatul”