Hari ini saya diwisuda. Saya lulus S2 dari Clinton School of Public Service di Arkansas Amerika Serikat. Clinton School adalah satu dari tujuh sekolah presidensial yang ada di negara ini. Sekolah presidensial diilhami dari kerja seorang presiden untuk pelayanan publiknya. Dan untuk sekolah saya, Presiden Bill Clinton menginspirasi berdirinya sekolah ini.
Bangga bercampur haru, tentunya saya merasa begitu. Setelah hampir dua tahun saya berkutat dengan sekolah, tugas-tugas, teman-teman dan keluarga baru, juga budaya yang berbeda, hari ini saya mendapatkan gelar Master of Public Service, atau master pelayanan publik. Syukur tidak terhingga, apalagi suami saya bisa ikut serta dalam momen bahagia ini.
Namun di tengah bahagia dan berkah Tuhan ini, saya kembali berpikir. Berpikir betapa beruntungnya saya, namun betapa banyak juga anak-anak Indonesia yang belum seberuntung saya. Saya beruntung terlahir dari keluarga yang sangat peduli pendidikan. Orang tua saya bukan orang yang kaya raya, mereka berjuang kepala buat kaki untuk menyekolahkan ketiga anaknya. Orang tua saya bahkan pernah mengatakan kalau tidak masuk sekolah negeri, mereka tidak bisa membayar. Juga mereka menekankan, tidak akan membiayai S2 kami bila ingin melanjutkan.
Orang tua saya pun merasakan jatuh bangunnya sekolah. Ayah saya lulusan D3 listrik, ibu saya lulusan sekolah analis kesehatan. Alasan mereka mengambil jurusan itu adalah karena jurusan itulah yang paling produktif dan paling cepat menghasilkan uang. Kakek nenek saya dari kedua belah pihak adalah petani. Kakek dari ibu saya meninggal ketika ibu saya masih kecil. Nenek pun sendirian berjibaku mendidik enam orang anak.
Saya pecaya, pendidikan bukan hanya dari sekolah. Tapi sekolah membantu memfasilitasi semua anak bangsa untuk bisa membaca, menulis, berhitung, dan tercerahkan. Pendidikan adalah hak setiap orang, dan hak negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang disebut negara adalah pemerintah dan rakyat. Selama ini, orang sering salah kaprah ketika mendefinisikan negara yang seolah-olah hanya pemerintah lah yang disebut negara. Padahal, tanpa warga negara, negara sendiri tidak akan ada. Semakin lama di Amerika, saya semakin sadar bahwa dalam sebuah negara demokrasi, yang disebut pemerintah adalah warga negaranya. Orang-orang yang kita pilih duduk di DPR dan Pemerintahan hanyalah pelayan warga negaranya. Harusnya begitu bila kita memilih untuk berdemokrasi.
Kaum Elitis
Selesai eforia wisuda kemarin, saya mendadak galau. Galau melihat sebuah tulisan di blog kompasiana tentang hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2010 lalu. Blog itu mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) dimana di tahun 2010 ada 8,5 persen penduduk tidak sekolah, 21,9 belum tamat SD, tamat SD 33,4 persen, pendidikan SLTP 16,6 persen, tamat SMU 16,2, sedangkan yang menyelesaikan pendidikan tinggi hanya 3,4 persen. Akurat atau tidaknya data ini bisa didiskusikan lebih lanjut. Tapi bila angka ini benar adanya, sungguh Indonesia masih jauh dari cerdas. Continue reading “Hanya Tiga Koma Empat Persen”