Pencuri Waktu: Refleksi Novel “Momo” karya besar Michael Ende

Momo (diambil dari trappedbymonsters.com)

Life holds one great but quite common place mystery. Though shared by each of us and known to all, it seldom rates a second thought. That mystery, which most of us takes for granted and never think twice about, is time (p. 47).

Sekali lagi soal waktu, yang menurut Michael Ende, dalam novelnya yang legendaris, Momo, adalah salah satu misteri hidup yang seringkali manusia luput memikirkannya. Ditulis tahun 1973, novel ini aslinya berbahasa Jerman yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Novel ini mencoba menggambarkan bagaimana manusia “modern” mempersepsi waktu dan menjalani kehidupan dalam waktu yang dia persepsi itu.

Petikan di atas sungguh benar adanya bahwa hidup sungguh penuh dengan misteri yang tidak manusia ketahui. Manusia bukan tidak berusaha untuk mengungkap berbagai misteri hidup ini, tapi semesta memang terlalu luas adanya. Waktu adalah salah satu yang sampai hari ini, manusia masih terus berdebat tentang artinya. Satu yang saya ingat, Einstein pernah berkata bahwa waktu adalah sebuah relativitas. Waktu itu tergantung bagaimana manusia mempersepsinya. Namun satu yang saya terus sepakati, bahwa seringkali manusia menganggap waktu memang ada dan otomatis ada. Sesuatu yang memang ada dari sananya, dalam bahasa Inggris sering disebut “taken for granted”. Mengacu kepada the Dictionary.com, taken for granted bisa diartikan evident without proof or argument; “an axiomatic truth”; “we hold these truths to be self-evident”. Bisa diterjemahkan bebas menjadi sesuatu yang sudah nyata kebenarannya tanpa harus dibuktikan.

Momo, Beppo Roadsweeper, Guido Guide
Sebut saja, Momo. Ende menokohkan Momo sebagai anak perempuan yang ceria, yang tinggal di sebuah amphitheater (pengertian amphitheater bisa dibaca di http://encyclopedia.thefreedictionary.com/Amphitheartre). Dia tinggal seorang diri, sebatang kara. Tadinya orang-orang di kota kuatir dia tidak bisa hidup sendiri, tapi Momo memang memilih begitu.

Satu hal yang menarik dari Momo adalah dia suka sekali mendengarkan orang. Dia tidak pernah bosan mendengarkan orang bercerita apa saja. Bahkan orang yang pendiam sekalipun akan ditunggu oleh Momo sampai dia mau bercerita. Orang-orang di kota itu seringkali mendatangi Momo untuk bisa didengarkan. Beberapa orang datang yang berselisih juga datang untuk menceritakan masalah mereka kepada Momo. Karena Momo pendengar yang baik, orang-orang yang berselisih sering pulang dalam keadaan senang hati dan damai. Momo bukan resolutor konflik, Momo hanya sabar mendengarkan keluh kesah semua orang. Dan saya pun sering mengalami, bahwa saya seringkali sudah punya jawaban untuk semua masalah dan komplen yang saya miliki, saya hanya ingin seseorang mendengarkan saya memikirkannya. Continue reading “Pencuri Waktu: Refleksi Novel “Momo” karya besar Michael Ende”

Cerita tentang Hitam dan Putih: Refleksi dari To Kill a Mockingbird

“…the evil assumption that all Negroes lie, all Negroes are basically immoral beings, all Negro men are not to be trusted around our women.”

poster film
To Kill A Mockingbird (Sumber: IMDB)

Kalimat itu adalah bagian dari argumen terakhir Atticus Finch (yang dimainkan oleh Gregory Pack), seorang pengacara kulit putih di pengadilan yang menyidangkan warga kulit hitam yang dituduh memperkosa perempuan kulit putih. Atticus Finch ditunjuk untuk membela seorang kulit hitam, praktik yang tabu di tahun 1932, ketika Amerika Serikat sedang mempraktikkan kebijakansegregasi rasial. Kebijakan ini intinya memisahkan kulit hitam dan kulit putih dalam hal fasilitas dan pelayanan publik misalnya kesehatan, perumahan, pendidikan, pekerjaan, dan juga transportasi. Di masa-masa sebelum adanya gerakan pembelaan hak-hak sipil yang pada puncaknya terjadi di tahun 50an dipimpin oleh Marthin Luther King, J.R., praktik pemisahan ini menjadi praktik yang “normal” di negara yang katanya demokrasi ini. Dan tentunya, praktik-praktik ini melahirkan asumsi-asumsi menyedihkan seperti di atas.

To Kill a Mockingbird sedikit banyak bercerita soal itu. Diadopsi dari karya besar Harper Leedengan judul yang sama, film ini menceritakan kisah diskriminasi terhadap kulit hitam dari kacamata kedua anak-anak kakak beradik, Jem (laki-laki) dan Scout (perempuan). Mengambil tempat di Maycomb negara bagian Alabama, film ini bercerita soal Amerika di saat krisis ekonomi (great depression) sedang berlangsung yang membuat sengsara banyak warga Amerika. Alabama merupakan negara bagian yang terletak di bagian selatan Amerika Serikat. Negara-negara bagian di selatan terkenal sebagai negara yang mengembangkan pertanian sehingga perbudakan menjadi hal yang “lumrah” di selatan dibanding di utara. Maka dari itu, praktek segregasi juga lebih lama berlangsung di bagian selatan. Misalnya sekolah, orang-orang kulit putih dan hitam pergi ke sekolah yang berbeda. Historically Black College/University menjamur untuk menjawab kebutuhan orang kulit hitam untuk pendidikan tinggi. Bis pun dibagi-bagi, ada bis buat kulit putih dan buat kulit hitam. Begitu juga restoran dan tempat-tempat publik lainnya. Walaupun menganut kebijakan “separate but equal” (terpisah namun setara), tetap saja diskriminasi tidak bisa dihindari. Continue reading “Cerita tentang Hitam dan Putih: Refleksi dari To Kill a Mockingbird”

Rain Man: Belajar Mencintai yang Autis

Iya ih, autis banget si loe!

Percakapan pendek seperti ini kerap terdengar di masa sekarang ini, apalagi sekarang terkenal gaya bahasa lebay dan alay. Saya pun pernah yang termasuk memakai becandaan ini. Sampai suatu ketika sahabat lama saya berkata, “Deu, kasihan dong Sayang yang autis beneran.” Lalu saya pun berpikir. Benar juga adanya. Rasanya tidak benar becandaan saya itu.

Lambat laun, saya pun semakin diterpa isu autisme. Ketika kawan saya yang punya anak penderita autis bilang, “Wi, anak gue autis ringan. Gue sekarang harus serius cari duit biar dia bisa dapat pendidikan yang bisa sesuai dengan dia.” Saya yakin dia tidak sendiri. Ada banyak orang lainnya yang punya anak atau anggota keluarganya menderita autis. Continue reading “Rain Man: Belajar Mencintai yang Autis”

Dewi Bicara JK

“A vision without action is just a dream. Action without vision is just a waste of time. a vision with action is able to change the world!” Neslon Mandela sebagaimana yang ditulis Suryapratomo, Pemred Kompas yang sekarang Direktur Pemberitaan Metro TV menggambarkan Jusuf Kalla sebagai pemimpin yang mampu mengubah dunia.

Saya seharusnya membaca tumpukan buku malam ini. Tapi saya tidak kuasa untuk tidak mengapresiasi buku “Mereka Bicara JK”. Daripada tidak konsen belajar, ada baiknya saya menulis saja.

Akhirnya saya mendapat buku ini. Adik saya mengirimnya dari Indonesia. Awalnya penasaran, karena Kompas.com memberitakannya dengan cukup provokatif yang membuat kepikiran terus. Alhamdulillah, walaupun lama datang, buku ini sampai juga di tangan saya.

Tebalnya 510 halaman, termasuk halaman indeks dan daftar isi. Sampulnya pun cukup sederhana, gambar mantan wakil presiden ke-10 Republik Indonesia, Bapak Jusuf Kalla. Berbalut kemeja putih, dengan kaca mata dan kumis khasnya, JK, begitu saya akan menuliskannya bertengger di sampul buku ini. Continue reading “Dewi Bicara JK”

Menuhankan senjata di Kota Tuhan: City of God

“Elo harus nonton film itu, Wi! That’s one of the best ones.”

Saya masih ingat kata-kata Agung Harsya Wardhana sahabat saya dan juga kawan saya nonton itu. Setelah sekian lama, akhirnya saya nonton juga. City of God (Cicade de Deus), sebuah film berbahasa Portugis keluaran tahun 2002. Film ini adalah sebuah karya duo sutradara Fernando Meirelles dan Katia Lund yang diadopsi dengan apik oleh Braulio Mantovani dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Paulo Lins yang terbit di tahun 1997. Menjadi lebih menarik karena novel ini diinspirasi sebuah kisah nyata.

Film ini dibuka dengan segerombolan pemuda mengejar ayam yang ketakutan karena akan dipotong. Seekor sebelumnya telah dikuliti. Mungkin karena takut, ayam yang masih hidup ini lari. Segerombolan pemuda dengan sejata lantas mengejar ayam ini, ketika seorang fotografer muda bernama Rocket ada di tempat kejadian itu. Tiba-tiba dari arah berlawanan, mobil polisi datang. Namun jumlahnya kalah banyak. Daripada mati konyol, polisi ini pun lari meninggalkan arena sampai akhirnya sebuah letusan senapan terdengar. Continue reading “Menuhankan senjata di Kota Tuhan: City of God”

St. Elmo’s Fire: perjalanan mengenali diri

“Yang fana adalah waktu, kita abadi”

(Sapardi Joko Damono, 1978)

Saya akhirnya menonton juga film St. Elmo’s Fire, film lama dari tahun 1985. Saya sudah sejak lama suka soundtrack-nya. Mungkin pernah dengar alunan piano merdu dari David Foster, sang maestro dari Canada, mengalunkan instrument berjudul yang sama, atau Man in Motion yang dinyanyikan oleh John Parr. Lagu ini, belakangan, diaransemen ulang oleh David Foster dan dinyanyikan lagi oleh Michael Johns, finalis ajang pencari bakat American Idol. Sudah lama sekali saya mencari film lawas ini, akhirnya nemu juga.

Film ini mengambil setting di kota Washington D.C, ibukota Amerika Serikat. Tersebutlah tujuh orang lulusan Universitas Georgetown yang selalu menghabiskan waktu bersama-sama, seakan-akan tidak terpisahkan. Nge-gank bahasa gaulnya. Continue reading “St. Elmo’s Fire: perjalanan mengenali diri”

Milk (bukan susu)

Tulisan ini bisa jadi membutuhkan sebuah pikiran terbuka untuk membacanya. Buat yang merasa tidak nyaman diskusi terbuka, sebaiknya tidak perlu membaca note ini.

Baru saja saya selesai menonton film berjudul MILK. Awalnya, saya pikir ini film tentang susu, mengingat MILK dalam bahasa Inggris artinya susu. Namun, tidak ada hubungannya dengan susu, MILK ternyata adalah seorang politisi Amerika. Yang belum menonton mungkin bertanya, apa yang menarik dari MILK sehingga kisah hidupnya diangkat ke dalam film yang juga menggondol dua Piala Oscar untuk kategori aktor pria dan penulisanscreenplay ini. Jadi, siapakah MILK? Continue reading “Milk (bukan susu)”

Kontroversi Hukuman Mati: A Life of David Gale

Bila pernah melihat “A Life of David Gale”, pasti akan termangu melihat perjuangan para

Kevin Spacey memainkan David Gale (sumber: imdb)
Kevin Spacey memainkan David Gale (sumber: imdb)

aktivis penentang hukuman mati itu. Clearance sampai harus membunuh dirinya sendiri dengan cara menelenjangi dirinya, memborgol tangannya, menutup mukanya dengan plastik, menggelepar di lantai dapurnya, lalu akhirnya mati karena kehabisan nafas. Setelah itu, tuduhan membunuh melayang ke David Gale, yang cairannya ditemukan di dalam tubuh Clearance. Maka, David dituduh sebagai pemerkosa dan pembunuh. Seorang jurnalis pada akhirnya mewawancara David Gale 4 hari menjelang hukuman mati. Pada akhirnya, tepat di menit Gale meninggal, jurnalis tersebut menemukan bahwa Gale tidak membunuh Clearance, namun dia ingin menunjukkan pada dunia, bahwa bahkan hukuman mati sungguh penuh jebakan sebab penegak hukum sangat bisa salah menghukum mati orang. Continue reading “Kontroversi Hukuman Mati: A Life of David Gale”