Ketika sinar-sinar hangat menerpa muka
Aku sapa dengan lirih, “Matahari, selamat pagi”
“Selamat pagi,” sapanya kembali
“Eh, itu air mata apa?”
Aku malu-malu menyeka
Dan menjawab, “Ah bukan apa-apa, tidak perlu kuatir. Kamu aku, aku ini penangis”
Matahari itu berkata, “Iya, aku tahu. Senja sering bilang bahwa kadang dia memperhatikanmu
Ketika semburat nila ungu bercampur emas turun di ufuk barat, kamu seringkali terkagum
Lalu air matamu mengalir.
Pernah juga awan putih di langit Tuhan berbisik kepadaku
Ketika deru-deru pesawat terbang mendesah, dan kamu rindu sang kekasih,
kamupun sedang menangis.”