Menyibakkan tirai jendela
Ketika sinar-sinar hangat menerpa muka
Aku sapa dengan lirih, “Matahari, selamat pagi”
“Selamat pagi,” sapanya kembali
“Eh, itu air mata apa?”
Aku malu-malu menyeka
Dan menjawab, “Ah bukan apa-apa, tidak perlu kuatir. Kamu aku, aku ini penangis”
Matahari itu berkata, “Iya, aku tahu. Senja sering bilang bahwa kadang dia memperhatikanmu
Ketika semburat nila ungu bercampur emas turun di ufuk barat, kamu seringkali terkagum
Lalu air matamu mengalir.
Pernah juga awan putih di langit Tuhan berbisik kepadaku
Ketika deru-deru pesawat terbang mendesah, dan kamu rindu sang kekasih,
kamupun sedang menangis.”
“Jadi,” kataku, “Kenapa kamu bertanya kalau kamu sudah tahu?”
“Karena,” jawabnya, “Aku yakin kali ini kamu itu sebenarnya sedang bahagia.”
Aku tersenyum, “Ah kamu sok tahu. Tapi bisa jadi benar adanya.
Dadaku sedang membuncah ketika aku ingat nikmat-nikmat Tuhan itu
Ketika masih sehat kedua orang tuaku, masih jelita dan berdaya kedua adik-adikku,
masih setia menantiku suamiku, masih banyak kawan-kawanku yang mencintai aku.
Dan aku masih sehat, Matahari.
Aku seperti di surga, kamu tahu itu?
Tapi lantas aku aku juga bersedih. Ah.”
Menetes lagi. Kali ini lebih deras lagi.
“Aku tahu, perempuan. Aku tahu kenapa kamu sedih,” Matahari yakin sekali.
Kamu kadang lupa bersyukur. Kamu kadang lupa bahwa Tuhan sangat sayang padamu.
Dia minta aku tidak panaskan bumi seperti air yang mendidih, agar kamu masih bisa hidup di dunia ini.
Dia minta bulan tetanggaku untuk hadir di langit malammu, disertai ribuan bintang, agar mendingin hidupmu, dan kamu bisa tidur.
Dia minta hujan sahabatku basahi bumi, agar kamu bisa minum dari air-airnya dan menikmati sejuknya hari.
Dia minta senja anak angkatku datang mengemasi langitmu, agar ribuan puisi bisa tercipta lagi dari otak dan jari-jarimu.
Aku tidak salah tebak kan?”
Tak tertahankan. Air mata ini.
“Iya, Matahari. Kamu ternyata tahu,” jawabku.
Aku ini masih sombong jadi manusia.
Pintar sedikit, langsung besar kepala. Punya uang sedikit, langsung lupa beramal. Punya kuasa sedikit, langsung lupa amanah yang aku emban.
Padahal diberi sedikit cobaan saja, sudah sering minta dimudahkan. Duh, Matahari.”
“Iya aku tau. Tuhan pun sudah sering ingatkan sombong hanya milik Dia, kan.
Tapi menjadi sebaik-baik manusia itu proses, hai Perempuan. Sampai matipun, kamu tidak akan pernah tahu sudah sebaik apakah kamu. Tapi bukan berarti kamu akan berhenti menjadi baik kan?
Jangan pernah lupa percakapan kita pagi ini ya. Agar kamu terus ingat, kamu itu manusia,” Matahari mengingatkanku lagi.
“Terima kasih ya Matahari, aku bisa berhenti menangis sekarang. Salamkan pada Tuhan di manapun Dia berada. Aku rindu sekali bertemu denganNya kelak. Salam kangen, ya,” pada Matahari aku minta tolong.
“Sama-sama, Manusia. Satu lagi, Tuhan itu, ada terus buat kamu. Kamu saja yang sering sibuk,” tutup Matahari.
Aku pun tertegun lagi.
San Antonio, 24 Juni 2010
selamat pagi, Matahari