“Gempanya keras sekali, hampir tidak ada yang bisa berdiri atau duduk. Abis gempa, gue masih sempat pulang ketemu ayah, mamak, Wawak Anik, Meutia, Furqan sebelum tsunami terjadi. Tidak lama, orang berlarian dari arah laut dan bilang, ‘air naik, air naik’. Gue ga tau apa yang dimaksud. Air laut bisa naik? Akhirnya kita semua lari. Ayah lari dengan mamak dan Furqan. Wak Arnik lari dengan Meutia. Gue lari naik motor. Masih tergiang ucapan mamak yang minta gue lari sama Furqan.”
Cerita di atas bukan kisah fiksi. Cerita di atas adalah pengalaman pribadi seseorang yang selamat dari tsunami 2004 di Aceh, bencana besar yang menewaskan banyak sekali umat manusia dan mengakibatkan kerugian yang tidak sanggup dihitung dengan jari.
Ini bukan lagi untuk mengulang-ulang cerita-cerita ini untuk menarik simpati, atau membuat hati bersedih lagi. Ini hanya sebuah refleksi perjalanan hidup agar kita bisa terus menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Saiful kehilangan ayah, ibu, dan adik laki-lakinya. Di keluarga besar, dia kehilangan beberapa keluarga. Ada satu keluarga omnya yang hilang semua, bahkan bekas rumahnya pun sudah menjadi bagian dari laut Ulee Lheu. Di keluarga yang lain, ada seorang sepupu yang tinggal seorang diri saja. Dalam 15 menit hidupnya berubah. Air laut menyapu bukan hanya keluarganya, tapi rumah, dan juga memporakporandakan tokonya. Continue reading “Tsunami, Enam Tahun yang Lalu”