tulisan ini, karya saya, sudah dipublikasikan di buku karangan Dokter Genis Ginanjar, Pengantin Facebook. Dipublikasikan di blog ini dengan seizin penulis. Silakan kontak Dokter Genis Ginanjar (genislife@yahoo.com), untuk membeli. *promosi
sebuah pengalaman pribadi
Saya itu sempat tidak mau menikah. Sempat takut berkomitmen di bawah payung bernama pernikahan. Sampai saya bertemu suami saya ini.
Saya bertemu dengannya tahun 2005 di Banda Aceh. Ketika itu saya bekerja sekitar satu bulan di Aceh. Awalnya biasa saja. Tapi lama-lama jadi tidak biasa. Begitulah saya bisa menggambarkan bagaimana pertemuan saya dengan suami saya. Di waktu yang singkat, kami sepakat untuk saling mengenal dulu. Kami sempat berhubungan jarak jauh sekitar enam bulan sebelum akhirnya saya bisa mendapatkan kerja dan pindah ke Aceh.
Hampir tiga tahun saya menjalani proses pengenalan. Pacaran mungkin bahasa gaulnya. Untuk saya, penting sekali untuk setidaknya bisa mengenal karakter calon saya itu, walaupun tidak ada standar yang baku berapa lama sebuah pasangan harus saling mengenal sebelum menikah. Tapi buat saya, ini adalah syarat mutlak, karena saya tidak mau memilih kucing dalam karung. Memang mengenal adalah proses seumur hidup sampai mati, tapi setidaknya, saya memulai prosesnya dengan cara-cara yang saya dan dia percaya baik.
Jalan enam bulan, lalu satu tahun, lalu tak terasa 2,5 tahun. Saya merasa ini adalah hubungan terlama yang saya pernah punya. Karena biasanya, sayalah yang sering ditinggal. Namun kali ini, setidaknya saya sudah agak pandai. Saya sudah tahu laki-laki macam apa yang saya butuhkan (bukan inginkan) untuk jadi suami saya. Dan saya harus dengan jujur melihat apakah laki-laki yang sedang saya pacari ini punya pemuas-pemuas kebutuhan itu.
Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan menikah dengan dia karena saya merasa saya menemukan apa yang saya cari selama ini. Ada beberapa hal. Pertama, dia adalah laki-laki yang menganggap bahwa pernikahan adalah mitra kerja. Di awal-awal pernikahan, kami mengontrak rumah. Memang kami hanya tinggal berdua saja, tapi bukan berarti bahwa pekerjaan domestik rumah tangga menjadi sedikit. Yang membahagiakan adalah bahwa untuk dia, pekerjaan domestik seperti mencuci, mengepel, dan menyapu lantai adalah bukan pekerjaan perempuan. Tapi pekerjaan siapapun yang mau dan mampu melakukan. Kami membagi tugas dengan sangat efektif. Saya memasak, dia mencuci piring. Saya mencuci, dan dia menyapu dan mengepel lantai. Yang kedua, dia tidak merasa kalah ketika istrinya terlihat lebih hebat (menurut pandangan orang-orang). Dari masa pacaran, dia sudah tahu bahwa saya ingin melanjutkan sekolah ke jenjang S2. Dan dia tahu, saya mau melakukannya di luar negeri. Beberapa bulan setelah saya menikah, ternyata saya berhasil lulus beasiswa untuk pergi ke Amerika. Dia sangat bahagia mendengar saya lulus. Dia bilang, cita-cita kami tercapai walaupun dia tahu bahwa bisa jadi saya dan dia akan teprisah. Dia pernah bilang bahwa dia sangat bangga saya bisa sekolah lagi, saya bisa mencapai cita-cita saya. Luar biasa.
Saya belum sebutkan bahwa dia itu korban tsunami. Dia kehilangan ayah, ibu, adik laki-lakinya, dan beberapa keluarga besar. Bisa dibilang, dia tidak punya apa-apa setelah itu. Buat banyak laki-laki, beberapa akan gengsi untuk minta bantuan dari istrinya, terutama bantuan finansial. Tapi suami saya ini, dia tahu bahwa rumah tangga adalah kerja sama. Sama seperti apa yang saya percaya, bahwa rejeki Tuhan bisa hadir lewat pintu mana saja, pintu dia atau pintu saya. Saat ini, suami saya punya usaha penjualan kaos dan desain. Saya dengan bangga mengatakan bahwa saya ikut serta di dalamnya membangun dan mewujudkan mimpi suami saya itu.
Terakhir, suami saya itu adalah suami yang sungguh peduli apakah saya, istrinya, menikmati semua aktivitas intim yang kami jalani. Semua menjadi luar biasa menyenangkan karena keduanya menikmatinya dengan suka cita.
Sekarang kami terpisah jarak, ruang, dan waktu. Saya sekolah di Amerika, dan dia masih tinggal di Banda Aceh. Jauh sekali. Sudah hampir 9 bulan ketika cerita ini ditulis. Berat luar biasa, apalagi baru 11 bulan saya menikah ketika saya dan dia harus terpisah. Namun, sejauh ini, semua berjalan lancar karena kamu menganggap ini adalah cara-cara Tuhan yang luar biasa untuk menjadikan kami manusia yang mulia dan pasangan yang setia. Insya Allah.
Bisa jadi dia bukan laki-laki yang sempurna, karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi buat saya, dialah yang terbaik dan pas untuk saya, setidaknya untuk saat ini. Saya mungkin beruntung, tapi saya juga percaya bahwa jika kita tahu apa yang kita butuhkan dari seorang laki-laki, dan kita memintanya kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh, akan dipertemukan kita dengan mereka. Setidaknya, saya sudah membuktikan itu.
Semoga banyak perempuan, yang memilih menikah, merasakan kebahagiaan yang sama, seperti saya ini. Amin.
Ditulis di Little Rock, Arkansas, 12 Februari 2010
wah, seru membacannya. saya ingin beli buku ini. apakah dalam buku ini, cerita yang mba’ ceritakan persis seperti di dalam website mba’ yang ini?. maksud saya seringkas ini ya. Kalau iya, bererti bukan buku karangan dong mba’, seperti mba’ ceritakan diatas, namun kisah-kisah pasangan (maaf kalau saya salah tafsir). kalau boleh, kenapa gak diceritakan lebih luas, siapa sosok suami dan lain-lain. kenapa mba’ mau sama dia atau cerita yang menguatkan pembaca.
saya merasa agak rancu
“tulisan ini, karya saya, sudah dipublikasikan di buku karangan Dokter Genis Ginanjar, Pengantin Facebook”
harusnya bukan karangan, namun di tuliskan kembali oleh…. (menurut saya sih)
demikian mba’. salam kenal YO
Yo, thanks komennya. bisa jadi emang jadi rancu ya. buku ini kumpulan tulisan, Dr. Genis yang mengumpulkan. saya salah satu penulisnya. sip. beli aja kalo emang mau baca cerita yang lain. ceritaku yang ini versi belon diedit nya.
Alhamdulillah saya juga memilih menikah dan merasakan kebahagiannya yang sama dengan yang mb dewi rasakan hehehe
Soraya, alhamdulillah 🙂 yah memang menikah harus dengan orang yang terbaik, selama kita juga usaha jadi orang yang terbaik juga untuk dia. salam 🙂