Suami saya kehilangan ayah, ibu, adik laki-laki, toko, dan rumah. Dalam 15 menit, ketika gelombang tsunami menghempas Banda Aceh hampir 5 tahun yang lalu.
Tulisan ini bukan soal minta dikasihani karena kehilangan itu, atau karena ingin mengingat lagi masa lalu. Saya baru saja pulang melihat film dokumenter “Warrior Champion: From Baghdad to Beijing”, sebuah film tentang bagaimana veteran tentara Amerika yang kehilangan kaki dan tangan mereka dalam perang, tapi berhasil mengikuti olimpiade untuk penyandang cacat. Saya melihat bagaima mereka berjuang untuk terus bertahan hidup dan tidak menjadi gila karena kehilangan hal-hal yang sangat berharga dalam hidup manusia: fisik yang lengkap. Yang seringkali kita berpikir fisik kita yang lengkap itu sudah otomatis semestinya begitu dari sononya.
Seperti halnya suami saya tercinta itu. Saya masih saja kagum kekuatan hatinya untuk melanjutkan hidupnya dengan cara-cara yang terhormat paska kehilangan keluarga, rumah, dan toko. Dia tidak gila, dia tidak jadi pencuri, dan dia terus memperlihatkan kekuatan manusia yang sebenarnya. Saya tidak terbayang, bagaimana suami saya bisa berdamai dengan kehilangan dasyat orang-orang dan hal-hal yang penting dalam hidupnya, yang seringkali kita berpikir, bahwa mereka otomatis hadir dalam hidup kita. Continue reading “Nikmat Itu Tidak Selamanya”