Apa yang pertama kali terlintas dalam benak Anda ketika kata Swiss disebut?
Tentu saja dengan mudah Anda akan mengucapkan:
“coklat, jam tangan, keju, bank, dan bankir.”
Itu adalah kata-kata pembuka dari pidato pengenalan Duta Besar Swiss untuk Amerika Urs Ziswiler yang diucapkan kawan sekelas saya, Cory Biggs. Ada benarnya kata-kata Cory ini. Saya pun langsung membenarkan apa yang Cory bilang. Saya ternyata cuma baru tahu itu dari Swiss.
Duta Besar Ziswiler (selanjutnya akan saya singkat DBZ) memulai satu jam kuliah umumnya di Clinton School, Selasa malam 16 Maret 2010, dengan mengatakan kenapa orang-orang tidak begitu kenal Swiss. Bisa jadi karena sepak terjangnya di dunia internasional kurang begitu kedengaran bila dibanding dengan negara Eropa yang lain. Alasan DBZ untuk situasi ini adalah karena Swiss mempunyai sistem politik yang lambat. Saya baru tahu bahwa sistem politik di Swiss adalah demokrasi langsung, mereka mengadakan referendum untuk semua yang bisa direferendumkan, termasuk pelarangan pembangunan kubah mesjid (baca: kubah yang ada lambang bintang dan bulan, bukan mesjid itu sendiri karena Swiss mempunyai setidaknya 200 buah mesjid) yang diberlakukan baru-baru ini. DBZ mengemukakan fakta yang menarik bahwa saking lambatnya, Swiss baru memberikan hak pilih kepada kaum perempuan di tahun 1973, atau kalau hari ini adalah tahun 2010, maka itu baru 27 tahun yang lalu. Indonesia jauh lebih maju karena perempuan sudah punya hak pilih di pemilu pertama kalinya di Indonesia tahun 1955. Namun, lambat bukan berarti tidak menuju sempurna. Buktinya, Swiss hari ini mempunyai presiden perempuan, juru bicara negara perempuan, dan 30% anggota parlemen perempuan. Luar biasa. Bahkan Amerika yang konon demokratis masih tidak bisa punya presiden perempuan, dan butuh puluhan pemilu untuk punya presiden kulit hitam. Tapi itulah “demokrasi” ala Amerika.
Dengan penduduk sekitar 7,6 juta penduduk, tentu saja referendum bukan sesuatu yang mudah, apalagi bila dilakukan terus-menerus. Tapi Swiss bisa melakukan itu karena Swiss adalah negara kaya dimana kalau dalam kacamata jurnalis CNN Fareed Zakaria, ekonomi adalah faktor utama pendukung jalannya demokrasi. Swiss mempunya sistem rotasi di parlemen karena rakyat tidak mau punya parlemen yang berkuasa secara absolut, tapi mereka ingin rakyatnya lah yang absolut berkuasa. Boleh juga idenya.
Belum selesa DBZ berbicara, saya mulai berpikir, “Ah tentu saja bisa. Kan mereka tidak seheterogen negara lain.” Saya salah lagi.
Negara ini cukup heterogen. Berikut cara DZB menceritakan keheterogenan itu. DZB mengemukakan fakta soal jam Swiss yang terkenal itu. Bila orang Perancis tidak migrasi ke Swiss, maka mereka tidak akan punya jam yang masih menjadi salah satu industri terkemuka saat ini. Bila orang Jerman tidak migrasi ke Swiss, maka perusahaan besar Nestle tidak akan berdiri. Sebuah perusahaan finansial bernama ABD tidak akan sampai Swiss bila orang Inggris tidak pergi ke Swiss. DBZ memaparkan bahwa ada sekitar 200.000 imigran Kosovo (yang hijrah setelah pecah perang di Yugoslavia), 500.000 imigran Srilanka (yang datang ketika konflik macam Tamil lagi hangat-hangatnya), dan yang “baru” saja datang adalah imigran Yugoslavia. Warga yang terakhir yang mayoritas beragama Islam inilah yang butuh waktu lebih lama untuk berintegrasi. Latar belakang mereka yang dulu besar di negara yang sistem politiknya authoritarian, klan Kosovo yang kuat, dan juga beragama Islam. Menarik sekali bahwa DBZ menyebut Islam.
Dia menjelaskan dengan cukup subjektif bahwa ada ketakukan akan Islam di Eropa (dalam kasus ini Swiss). Apalagi setelah kejadian terorisme dimana-mana yang terus saja diidentikkan dengan Islam. Dalam kasus pelarangan pembangunan kubah mesjid, sebenarnya pemerintah, parlemen, dan media di Swiss sudah menyarankan masyarakat untuk tidak melakukan referendum untuk hal ini karena ini bisa menimbulkan konflik. Namun tetap saja 57% masyarakat menyetujui hal ini. Lucunya, bahwa distrik yang banyak memberikan suara adalah distrik dimana jarang ada umat Islam di situ. Lagi-lagi, ini Islamphobic. (intermezzo: DBZ bertanya kepada utusan gedung putih kepada negara Islam, bagaimana bila referendum ini terjadi di Amerika. Tertebak jawabannya adalah bisa jadi sama saja).
Ketegangan ini berawal dari ditangkapnya anak Presiden Libia karena melanggar hukum. Hal ini membuat presiden marah dan mencabut hubungan diplomatik Libia dengan Swiss. Tentu tulisan ini adalah versi Swiss karena saya belum bertemu dengan Presiden Moamar Ghadaffi atau utusannya. Bahkan Libia mendeklarasikan “Perang Suci” dengan Swiss. Beritanya bisa dibaca disini.
Sekali lagi, DBZ mengatakan ini menjadikan warga Swiss jadi takut dengan Islam. Saya bisa menerima argumennya. Orang takut karena seringkali karena mereka tidak tahu. Tapi saya yakin, bisa semua orang yang bertuhan kepada Allah dan memilih Islam menjadi jalan hidupnya, tidak akan memilih kekerasan untuk berdakwah. Karena Allah tidak suka kekerasan, walau Dia memang sangat keras dan tegas. Dan Muhammad juga seorang manusia yang sungguh sangat lembut. DBZ juga mengatakan bahwa ada 4% umat Islam di Swiss yang bebas melakukan ritual keagamaan di 200 mesjid. Dan pemerintah terus melakukan pendekatan kepada orang-orang Islam untuk terus mengerti budayanya dan membantu proses integrasinya. Agar mereka dan warga yang lebih lama tinggal di Swiss bisa hidup damai, penuh toleransi, dan saling menghormati.
Saya kembali terhenyak. Islam adalah rahmatan lil alamin, seharusnya menjadi rahmat bagi semesta alam. Tapi banyak ditakuti, karena ulah umatnya sendiri. Sedih juga.
Saya baru tahu lagi bahwa Swiss belum bergabung dengan Uni Eropa. Ada dua alasan yang DBZ bilang. Yang pertama, karena pendapatan perkapita Swiss masih jadi yang teratas di Eropa, dan tingkat penggangguran Swiss yang sangat rendah cuma 4.1%. Hal ini adalah salah satu diskusi yang terus hangat di parlemen dan di masyarakat setidaknya dalam 50 tahun terakhir ini.
Yang saya kagumi adalah bahwa Swiss adalah negara yang nomor satu untuk tingginya kualitas hidup dan untuk rendahnya emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan ekonominya. Untuk kualitas hidup, Swiss memilih untuk menginvestasikan keuangan negara pada pendidikan, transportasi publik, dan lingkungan. Sederhana sekali sektor yang dipilih. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang bisa membuat bangsa menjadi sejahtera. Bahkan Kostarika menjadi negara paling bahagia di dunia karena menginvestasikan pada dunia pendidikan. Bisa dibaca di sini . Di kota Zurich misalnya, 48% masyarakatnya tidak punya mobil. DBZ bilang, “Itu bukan karena mereka tidak bisa beli, tapi mereka lebih suka naik kendaraan umum.” Investasi kepada transportasi publik membuat Swiss juga tidak terlalu tergantung kepada bahan bakar fosil. Transportasi publik yang dipilih Swiss adalah kereta karena bisa membawa banyak orang dalam satu waktu. Untuk hal ini, bisa jadi kita tidak perlu dulu belajar dari Swiss, tapi kita lihat saja dulu negara tetangga Malaysia (jangan Singapore, terlalu tinggi bedanya, nanti malu). Malaysia, setidaknya di Kuala Lumpur, pemerintahnya jauh lebih becus mengatur lalu lintas dan transportasinya. Kembali kepada Swiss, untuk sektor lingkungan, Swiss adalah yang paling terdepan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Bahkan ada undang-undang baru yang akan mengatur bahwa Swiss harus menekan lagi gas rumah kacanya lebih rendah dari yang Swiss janjikan di Protokol Kyoto (intermezzo lagi: Amerika tidak menandatangani Protokol Kyoto. Bahkan sampai hari ini, dimana Amerika menekan China yang juga salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia. Seperti maling teriak maling? Tergantung pembaca saja).
Kenapa Swiss menginvestasikan uangnya kepada sektor lingkungan? DBZ mengatakan hal yang sangat logis, “Karena kami melihat korelasi yang luar biasa antara kekayaan negara dengan manajemen lingkungan yang sehat”. Saya kena tampar lagi. Lihat bagaimana Indonesia seringkali mengabaikan sektor lingkungan dari banyak segi. Kita banyak air, tapi kita sangat bergantung kepada batu bara untuk listrik. Kita banyak sawah, tapi orang kelaparan. Kita banyak angin, tapi tidak pandai membuat kincir angin untuk listrik. Swiss itu menggantungkan 60% listriknya kepada hydropower (tenaga air), 30% kepada nuklir, dan 1% kepada energi yang bisa diperbarui.
Bicara soal nuklir, ada yang menarik. Ketika kesempatan tanya jawab datang, saya menjadi penanya pertama. Pertanyaan saya soal bagaimana DBZ melihat pendekatan dunia terhadap nuklir di Iran. (Intermezzo lagi: saya baru tahu bahwa Iran dan Amerika tidak punya hubungan diplomatik sejak Revolusi Islam di tahun 1979. Lalu Amerika menunjuk Swiss untuk mewakilinya dalam usaha berhubungan dengan Iran. DBZ lah salah satu utusannya). Beliau menjawab bahwa semuanya tahu bahwa pada dasarnya semua negara bisa punya nuklir, asal untuk usaha kemanusiaan (listrik, teknologi, kesehatan, dll). Dan ketika Amerika harus menekan Iran, mestinya Amerika juga harus menekan dirinya sendiri, Rusia, China, Korea Utara, India, Pakistan, dan anak emasnya Israel. Namun, beliau menjawab bahwa yang Iran lakukan adalah usahanya membuat bom nuklir. Ini yang dunia, bisa jadi Indonesia, juga tidak setuju. Jawaban yang menarik untuk saya. Karena buat saya, toh negara-negara yang saya sebutkan itu juga sedikit banyak membuat senjata nuklir. Buat saya, jawaban ini tidak memuaskan. Namun ini kembali menegaskan ada standard yang agak tidak tepat yang diterapkan negara-negara Barat (baca: Amerika).
Pertanyaan kedua datang dari seorang bapak yang juga datang ke kuliah umum. Pertanyaannya adalah bagaimana mencegah perang bisa terjadi? DBZ menjawab bahwa semakin suatu saling tergantung kepada negara yang lain dan mempunyai kepentingan yang sama setidaknya dalam hal politik dan ekonomi, mestinya ini bisa mengurangi ketertarikan kepada perang, ketidakkemampuan negara untuk berlatih toleransi kepada perbedaan, dan perang-perang yang tidak perlu. Dia juga sempat mengatakan bahwa terlalu banyak perang militer akhir-akhir ini yang membuat lelah. Yang saya lihat, Amerika suka begitu. Bila ada yang menguntungkannya, maka mereka akan datang memerangi “kezaliman”. Lihat Irak dan Afghanistan yang notabene adalah ladang minyak di Asia Selatan. Tapi Amerika tidak pernah datang ketika Rwanda dihabisi perang saudara, atau ke Zimbabwe yang ada di bawah rezim kejam Presiden Mugabe.
Ada yang lupa saya sebut. Soal Guantanamo. Presiden Obama masih berjanji menutupnya, dan ternyata Swiss sangat mendukung usaha ini. Bahkan, Swiss akan menerima dua warga Muslim China yang telah dibebaskan dari Guantamo tapi takut kembali ke China karena diancam bisa dihukum mati.
Swiss yang takut glyeser-nya cair sehingga berusaha keras memerangi pemanasan global. Swiss yang walaupun kaya tapi tingkat bunuh dirinya termasuk yang tinggi. Swiss, penghasil coklat yang coklatnya diimpor dari Indonesia. Swiss yang kita pasti bisa belajar darinya…
c) Little Rock, 18 Maret 2010, 2:19 pagi
ayo Indonesia, belajar terus
Tulisan yang menarik sekali, jadi tambah ilmu tentang kenegraan nih, lebih tentang swiss. good luck untuk penulis.
@zulham
makasih ya Zulham. masih belajar-belajar. tapi semoga berguna
duuuh..gw suka banget ama jawaban DBZ untuk penanya kedua, bener banget tuh, kalo semua negara merasa sejajar dan saling membutuhkan, ngga akan ada pikiran buat peran deh…Jempol deh buat Swiss, andaikan Indonesia bisa kaya Swiss ya.
@Nurisah
hehe iya De. dalam mimpi emang bisa. tapi dalam kenyatannya, itu sulit sekali. tapi bukan berarti harus berhenti berusaha kan..
Memperkaya wawasan, jadi pengen ke Swiss. Btw, scholarship ke Swiss ada gak untuk orang2 Indo?