“Mam, could you please step aside this way?” an officer said.
“Why? The security door alarm didn’t beep!” I replied.
“It’s your scarf, Mam. We need to screen it,” she explained.
Sudah tiga kali dalam satu bulan terakhir ini. Tadinya saya mau bersikap biasa saja, tapi setelah dipikirkan lagi, ternyata ini agak menjengkelkan.
Peristiwa pertama terjadi di Bandara Little Rock, Rabu 24 Februari 2010. Saya akan pergi ke San Francisco untuk menghadiri seminar Fulbright di sana. Ketika saya melewati pintu detektor, alarm berbunyi. Padahal saya sudah tidak memakai gesper, tapi tetap saja. Bisa jadi ini bros dan peniti yang saya pakai. Petugas perempuan datang. Dengan sopan dia bilang bahwa dia harus memeriksa saya lebih seksama. Dia menawarkan saya untuk diperiksa di tempat atau pergi ke kamar khusus. Saya lebih suka diperiksa di tempat, karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi bila harus diperiksa di kamar khusus. Lagipula saya pikir, orang-orang Amerika harus tahu apa yang dilakukan pemerintahnya terhadap perempuan muslim di negara yang konon adalah negara demokrasi itu.
Peristiwa kedua terjadi di Bandara Internasional San Francisco, hari Senin pagi tanggal 1 Maret 2010. Saya dalam perjalanan menuju Little Rock. Seperti biasa, saya lewat pintu detektor lagi. Hari itu masih pagi. Saya masih mengantuk ketika petugas berkata, “Mam, I need to screen your scarf. Do you mind that?” Dalam hati saya berkata, “Ah, kalau saya bilang tidak boleh, pasti saya akan dapat masalah.” Jadi karena masih pagi dan saya tidak punya energi, saya bilang, “Please!” Tentu saja tidak ada apa-apa, kecuali bila peniti itu juga jadi masalah.
Peristiwa ketiga terjadi hari Rabu kemarin, tanggal 10 Maret 2010 di bandara Houston, ibukota negara bagian Texas. Alarm jelas tidak berbunyi. Tapi tanpa minta izin, petugas itu bilang,“Mam, please go this side.” Saya bertanya, “But the alarm obviously didn’t beep!” Dijawab lagi, “It’s your scarf. I need to screen it.” Saya cemberut. Ingin berantem, tapi masih jam 6 pagi. Saya mengantuk karena baru tidur 3 jam saja. Dia minta saya meraba jilbab saya. Lalu dia mengambil tissue dan menyeka tangan saya. Dia lalu memeriksanya di sebuah mesin. Dan lalu kembali mendatangi saya dan berkata, “Thank you, Mam.”
Saya benar-benar tidak habis pikir. Dua orang kawan saya, perempuan kulit hitam dan laki-laki kulit putih bilang, “Sabar ya, Wi.” Saya cuma tersenyum saja. “Ini sudah tiga kali,” saya jawab. Dan bisa jadi ini belum yang terakhir. Saya tidak masalah diperiksa bila memang alarm-nya bunyi. Tapi bila tidak, ini buat saya adalah diskriminasi.
Pengamanan di bandara-bandara Amerika memang jadi meningkat terutama setelah ada laki-laki Islam asal Nigeria ingin meledakkan pesawat yang menghubungkan Inggris dan Detroit, Amerika Serikat. Beritanya bisa dibaca di sini. Saya setuju bahwa mereka harus memperketat pengamanan karena semua pemerintah wajib melindungi keselamatan negaranya. Tapi saya yakin ada cara yang lebih elegan untuk memeriksa semua orang yang dianggap mencurigakan di bandara tanpa mengurangi rasa hormat.
Saya jelas diundang pemerintah Amerika Serikat. Visa saya J-1, visa mahasiswa yang program pertukaran pelajar oleh pelajar Amerika. Visa ini setingkat dengan visa yang didapat oleh orang-orang pemerintahanan. Saya penerima beasiswa Fulbright, beasiswa yang pertama kalinya digagas oleh Senator Arkansas William J. Fulbright, yang ingin melihat kedamaian di muka bumi dengan mengadakan pertukaran budaya antara orang-orang non-Amerika dengan orang-orang Amerika. Karena beliau juga percaya tak kenal maka tak sayang. Saya jelas-jelas warga negara Indonesia yang legal keberadaannya di Amerika Serikat, yang datang atas undangan pemerintah Amerika Serikat.
Beberapa bulan yang lalu, kawan saya Muhammad Taufik Hidayat (lihat tag) memberikan link internet Airport screening for ‘Flying while Muslim. Isinya soal diskriminasi yang diterima perempuan berkerudung di bandara-bandara di Amerika. Saya kembali berpikir. Amerika ini selalu mengagung-agungkan demokrasi, kebebasan, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Tapi negara ini belum juga relatif bebas dari rasisme, dan ke sini-sini diskriminasi terhadap orang-orang Muslim.
Buat saya, lama-lama jilbab jadi politis. Sebuah identitas bahwa saya orang Muslim yang sama dengan orang Amerika dan orang-orang sedunia pada umumnya: saya cinta damai, saya tidak suka kekerasan, saya tidak suka tidak dihargai, saya tidak suka dicurigai tanpa alasan, dan lain sebagainya. Tidak bisa digeneralisasi bahwa semua yang berjilbab itu adalah bagian dari terorisme di dunia ini. Saya sering ditanya kenapa saya memakai kerudung. Banyak orang-orang Amerika di Arkansas terutama bertanya soal ini.
Arkansas adalah negara bagian yang menarik. Negara bagian ini sarat dengan pemeluk agama Nasrani, oleh karena itu Arkansas dikenal dengan sebutan the Bible Belt. Arkansas adalah salah juga salah satu negara bagian yang dulu mempraktekkan perbudakan karena Arkansas adalah negara bagian yang agraris. Mereka perlu banyak budak kulit hitam untuk menjalankan pertaniannya. Sampai hari ini, rasisme masih sangat kental di sini. Saya akan coba menulisnya di tulisan saya yang lain.
Laki-laki dari beberapa negara yang mayoritas penduduknya Islam juga tidak lepas dari peraturan-peraturan berbau diskriminatif. Sebut saya peraturan yang bernama Public Information Sheet on National Security Entry Exit Registration System (NSEER) ini. Berikut petikannya,
“The domestic registration program included citizens or nationals from Afghanistan, Algeria, Bahrain, Bangladesh, Egypt, Eritrea, Indonesia, Iran, Iraq, Jordan, Kuwait, Libya, Lebanon, Morocco, North Korea, Oman, Pakistan, Qatar, Somalia, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Tunisia, United Arab Emirates, and Yemen. However, to date, individuals from more than 150 countries have been registered in the NSEERS program.”
Atas nama keamanan nasional, orang-orang dari negara di atas akan diperiksa. Ada beberapa kawan-kawan Fulbright yang harus lapor diri sampai berjam-jam di bandara. Beberapa karena namanya mengandung unsur Islam (seperti Muhammad), dan juga karena berjenggot atau mencurigakan secara penampilan. Murni begitu. Bahkan, ketika kawan-kawan Fulbright sedang memohon visa ke kedutaan, beberapa yang bernama Muhammad akan mendapatkannya lebih lama dibanding orang-orang yang lamanya lebih netral.
Sekali lagi, saya tahu bahwa atas nama keamaanan, pemerintah bisa melakukan apa saja. Tapi apakah tidak ada cara lain yang lebih baik, yang tidak mendeskreditkan orang-orang agama dan etnis tertentu? Apalagi ketika sibuk menekan banyak negara sana-sini untuk berdemokrasi. Bahkan kemarin kawan perempuan saya yang kulit hitam berkata, “I’m black. So, I don’t want to mess with them.”
Ini Amerika, Bung. Negara yang sibuk “memaksakan” demokrasi untuk dilakukan di semua negara. Bahkan jurnalis Fareed Zakaria dalam bukunya The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (2003)”“ mengatakan bahwa demokrasi di Amerika juga sarat dengan uang, para pelobi, dan orang-orang yang fanatik (halaman 166). Demokrasi adalah soal siapa yang punya uang, kekuasaan, dan kenalan. Di halaman 177, Fareed menuliskan bahwa sejalan dengan semakin besar dan terbukanya Pemerintah Amerika Serikat, kelompok-kelompok seperti para pelobi telah menjadi industri terbesar di Amerika.
Belum lagi partai politik di Amerika. Clinton Rossiter, seorang peneliti politik Amerika (dalam Zakaria, 2003) mengatakan, “Tidak ada Amerika tanpa demokrasi, tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai politik.” Bisa jadi ini memang benar adanya. Tapi ada tantangan baru yang dihadapi negara ini.
Fareed pernah bertanya kepada George Stephanopoulos, jurnalis dan mantan penyusun strategi politik di Amerika soal apakah Partai Demokrat akan mencalonkan Al Gore jadi presiden (untuk melawan G.W. Bush). Dia mengatakan hal yang sangat menarik, “Tidak ada itu Partai Demokrat, jika Gore ingin menjadi presiden, dia harus mencari sokongan dana, mencari publisitas yang baik, dan eksis; jadi dia bisa mendapatkan lebih banyak uang dan press” (halaman 180). Dilanjutkan di halaman 181, “Suksesnya G.W. Bush tidak ada hubungannya dengan dia menjadi kandidat Partai Republik tapi lebih kepada dia menjadi kandidat dari kelurganya; dua hal yang diperlukan dalam sistem tanpa partai – nama besar dan mesin pencari uang.”
Jadi, di dalam negerinya sendiri, Amerika juga masih terus mencari bentuk demokrasi. Demokrasi memang sebuah proses, sebuah alat untuk mencapai tujuan. Bahkan ketika saya bertemu mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madelyn Albright, saya bertanya bagaimana demokrasi bisa bertahan dari krisis politik dan terorisme. Beliau menjawab bahwa justru dunia bisa tetap bertahan dari krisis ekonomi dan terorisme karena ada demokrasi.
Bisa jadi begitu. Tapi demokrasi yang didefinisikan oleh siapa? Bahkan Fareed mengidikasikan bahwa terorisme terjadi juga karena kebijakan Amerika, negara “demokrasi” yang sering berstandar ganda terhadap dunia hari ini.
Banyak orang-orang Amerika yang tidak tahu apa yang terjadi di bagian dunia yang lain. Dan saya sedikit banyak tahu alasannya. Negara ini besar sekali. Butuh waktu untuk mengerti negaranya sendiri. Ada kawan saya yang tidak tahu dimana Afghanistan berada padahal sudah sedikitnya 6 tahun Afghanistan menjadi berita utama media di Amerika. Ada yang pernah bertanya kepada Duta Besar Afghanistan untuk Amerika Serikat, Said T. Jawad ketika beliau datang ke sekolah saya. Seorang bapak bertanya apakah perang di Afghanistan itu perang tentang obat bius. *gubraks*
Begitulah. Negara ini harus kerja keras untuk menaklukkan kebodohan, kesombongan, ketidakperdulian sebagain para warga negaranya bahwa mereka tidak bisa tidak bergaul baik dengan warga dunia yang lain karena sesungguhnya tidak ada negara yang tidak tergantung kepada negara yang lain. Semakin lama saya di Amerika, mata saya semakin terbuka. Saya bisa semakin berimbang melihat.
Saya jadi semakin sadar bahwa Indonesia adalah agung dan besar. Cuma sayangnya, banyak orang di dalamnya yang tidak cinta bangsa dan negaranya, dan mau mencari selamat sendiri. Kerja keras kita.
Saya masih terus berusaha menjadi duta Indonesia dan Islam dimanapun saya berada. Orang-orang harus tahu Indonesia dan harus tahu bahwa Islam bukan agama teroris. Saya ingin dunia lebih cinta damai lagi, saling toleransi, saling menghormati, dan saling menghargai.
Karena saya masih mau anak-anak saya kelak merasakan indahnya damai…
C)RDS, Little Rock 12 Maret 2010 12:17AM
…banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai…
Wah mbak…cut baru baca tulisan mbak yang ini….
dulu waktu Cut dari bandara Sf mau balik ke Indonesia juga pernah digituin…
alarmnya ga bunyi…padahal semua udah dilepaskan (maksdnya yg ada logam2nya)
lah terus tiba2 cut disuruh ke pinggir juga. Emang sih yang periksa cewek… Tapi Cut syok plus takut kali waktu disuruh masuk ke dalam ruangan yang kaya lift gitu( Cut g tau namanya apa) masih di situ juga sih, trus pintunya dikunci trus dimulai dari kaki sampe ke kepala kaya ada angin kencang macam ditembakin gitu sampe Cut betol2 tekejot. Asli mbak…. pengalaman paleng mengerikan. Kwan Cut juga pernah digituin… dia pake jaket jeans tpi dalamnnya kaos lengan pendek aja. tapi si ibu2 suruh dia buka jaketnya sampe aurat (tangannya) keliatan. dia sempat hampir nangis. Tapi mau gimana lagi..
wah mbak…. SEmngat mbak…Islam indah…
Cut…
🙂 begitulah. Amerika ini negara yang tidak mau belajar bagaimana Islam itu. kalau mereka memperlakukan orang2 dengan macam begini, itu malah menambah kericuhan dan bukan kedamaian. sabar2 saja. maka, kita harus jadi representasi umat Islam terbaik yang pernah ada, Cut. Karena dengan cara ini lebih efektif untuk melawan. semangat juga ya! salam hangat.
diskriminasi itu bisa diubah. (Kalo kita bertujuan mengubahnya.)