Apa arti sebuah nama?
Mungkin pendapat Shakespeare ini ada benarnya. Manusia bisa jadi sudah sangat biasa dengan sistem penamaan, sehingga tidak terlalu memikirkannya. Namun Bung Karno mengatakan sebaliknya. Dia pernah mengatakan bahwa nama, terutama nama orang, diberikan oleh orang (biasanya orang tua) dengan sebuah pengharapan dan doa. Maka nama sangatlah berarti, sebuah identitas pribadi. Mau setuju dengan yang mana, itu terserah Anda.
Cerita ini adalah sebuah pengalaman pribadi ketika saya berada di Amerika. Orang tua saya menamakan saya Ratnasari Dewi. Dalam versi bapak ibu saya, ratna berarti intan atau permata, sari berarti inti, dan dewi berarti dewa perempuan. Doa mereka, saya akan tumbuh menjadi perempuan-perempuan pilihan yang berharga seperti permata. Saya aminkan saja. Ke sini-sini, saya akhirnya tahu bahwa Bung Karno menamakan salah satu istrinya, Naoko Nemoko yang seorang Jepang, Ratna Sari Dewi. Ketahuan akhirnya bahwa ayah saya seorang fans Soekarno, dan ibu saya suka sekali dengan nama Dewi.
Saya tidak pernah memikirkan lebih lanjut tentang nama saya itu. Begitu sampai di Amerika, saya melihat orang-orang di sini (juga ternyata di beberapa negara Eropa, Afrika, Asia misalnya Filipina) mempunyai tiga kata dalam namanya. Sebagian besar begitu. Biasanya, nama depan itu adalah nama pemberian, nama tengah itu biasanya nama ibunya atau nama kecil bapaknya, dan nama terakhir adalah nama ayah atau keluarganya. Bila sudah menikah, seorang perempuan akan mengganti nama ayahnya dengan nama suaminya. Tapi ada juga sebagian kecil yang tetap memakai nama keluarganya. Proses pergantian nama ini harus dilakukan secara legal, setidaknya di Amerika, melalui proses pengadilan dan membutuhkan uang yang tidak sedikit. Dalam penulisannya, biasanya mereka menyingkat nama tengahnya. Ambil nama saya sebagai contoh, dimana dalam konteks ini saya tambahkan nama bapak saya. Ratnasari Dewi Soetirto, akan ditulis Ratnasari D. Soetirto. Bila saya memakai nama suami saya, akan menjadi Ratnasari Dewi Azhari, atau ada juga yang menuliskan Ratnasari D. Soetirto-Azhari. Cukup ribet. Apalagi kalau seorang perempuan bercerai dan mau kembali ke nama gadisnya. Harus memakai proses yang sama juga.
Saya sempat dipanggil Ratnasari. Bukan saya tidak suka dipanggil itu, hanya saya tidak biasa. Saya tidak merasa menjadi saya bila tidak dipanggil dengan Dewi atau Deu. Untuk orang-orang di sini, bila sudah akrab, orang tidak memanggil kita dengan nama belakang, tapi nama depan. Ah. Itu kenapa saya dipanggil Ratnasari.
Ketika saya minta dipanggil Dewi saja, mereka pun bertanya apakah Dewi itu nama keluarga atau nama terakhir saya. Saya bilang, sistem penamaan Indonesia tidak mengharuskan seseorang memiliki nama seperti di Amerika. Banyak orang yang bahkan hanya punya satu kata saja dalam namanya. Bapak saya tumbuh hanya dengan nama Soetirto, belakangan ditambahkan Yahya nama ayahnya agar terdengar lebih formal. Di Amerika, punya satu nama bisa membawa masalah ketika berkenaan dengan administrasi. Seringkali, akhirnya nama mereka diulang-ulang. Misalnya kalau saya hanya bernama Ratnasari, dalam beberapa kasus ketika mengurusi Nomor Sekuriti Sosial (social security number) atau membuka akun di bank, akan ditulis Ratnasari Ratnasari.
Singkat cerita, saya seringkali sibuk mendidik orang-orang bagaimana orang-orang Indonesia memberi nama dan juga mengucapkan nama saya dengan benar karena saya mau dipanggil dengan cara yang saya suka. Dewi di bahasa Indonesia dibaca De-Wi. E-nya seperti kita mengucapkan kata “tempe”. Tapi di sini saya dipanggil De-Wi dengan E dibaca ketika kita mengucap “emas”. Saya juga menjelaskan bahwa Ratnasari Dewi adalah nama pemberian orang tua, saya tidak memakai nama ayah dan suami saya. Selanjutnya, saya juga menggambarkan bahwa Indonesia tidak “mengharuskan” orang-orang mencantumkan nama keluarganya. Ada yang punya 3 sampai 4 kata dalam namanya, tapi tidak mengandung nama keluarga sama sekali. Lucunya, beberapa kawan perempuan saya orang Amerika sangat suka ide ini. Karena saya baru tahu, ada tendensi mengartikan perempuan sebagai “milik” laki-laki ketika dia harus mencantumkan nama suaminya. Kawan saya bilang begitu idenya di jaman dulu, bahwa perempuan itu adalah “properti” laki-laki. Tapi mereka kadang heran karena saya tidak mencantumkan nama ayah saya. Susah sekali mengenali saya ini Ratnasari Dewi yang mana. Haha, semakin seru saja ini persoalan nama.
Saya beruntung nama saya dua suku kata, sehingga walau Dewi bukan nama bapak atau akhir saya, seringkali untuk kemudahan administrasi Dewi dijadikan nama akhir saya. Saya dan Saiful, suami saya, pernah mendiskusikan soal ini. Dia menemukan beberapa sumber fikh Islam yang sepertinya tidak menganjurkan seorang istri memakai nama suaminya. Bisa dilihat di http://agama.kompasiana.com/2010/10/02/hukum-menambah-nama-suami-di-belakang-nama-istri-bolehkah/ dan http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2010/05/23/hukum-seorang-wanita-menambahkan-nama-suaminya-di-belakang-namanya/
Kami belum tahu bagaimana kebenarannya. Saya pun tidak meletakkan nama suami saya bukan untuk alasan rumit. Saya hanya tidak mau dipanggil “Ibu Saiful” setelah saya menikah. Untuk saya, setelah menikah, saya tetap pribadi yang merdeka. Saya tidak harus selalu diasosiasikan dengan suami saya untuk segenap perbuatan, pernyataan, atau bahkan penamaan. Kami percaya bahwa pernikahan harusnya tetap menjadikan dua orang tetap menjadi dirinya sendiri, menjadi pribadi yang merdeka, dan salah satu wujudnya adalah dari penamaan.
Yang membaca, tidak perlu setuju dengan tulisan ini 🙂 Hanya sebuah cara pandang lain saja. Tuhan pun menghimbau di Al-Quran (Al-Hujarat: 11) untuk memanggil seseorang dengan nama yang kita suka dan tidak mengandung ejekan. Saya dan Saiful akan menamakan anak-anak saya dengan nama yang kami suka dan doa-doa kami untuk mereka. Untuk kepentingan administrasi, kami juga akan meletakkan nama ayahnya, Azhari. Kelak. Insya Allah 🙂
@Little Rock, 1/29/2010
Sepakat, Deu! Saya beruntung punya “nama saya sendiri seutuhnya”. Toh dalam Islam juga ketika merunut silsilah tinggal pakai tambahan informasi “bin” atau “binti”. Tentang nama yang cuma satu kata, teman saya punya pengalaman kesulitan bikin visa daqn paspor karena katanya minimal nama harus dua kata. Karena terdesak, dia mengarang nama belakangnya, buntutnya sekarang jadi ribet deh urusan administrasi :). Yang juga repot adalah yang punya nama tiga kata seperti saya. Setiap mengisi form apa saja bisanya ada kolom first, middle dan family name. First dan middle okelah, tapi kalo family name? Nama keluarga saya kan bukan Syafarani 🙂 Juga kalau jadi penulis, referensi itu kan ditulis berurut dari nama belakang dengan asumsi itu nama keluarga. Lha, kalau buku saya dijadikan referensi jadi ditulis: Syafarani, Tri Rainny, Bla bla bla… atau Syafarani (2008) . Hahaha, lucu juga ya 🙂
Tri sayang, hehee memang lucu. dan memang kalo merunut ke Islam, pakai bin dan binti. tapi sayangnya, dunia hari ini kan dikuasai barat, sampe kita harus ngikutin banyak cara juga soal penamaan :p hihihii.. iya paling Syafarani (2008), kebayang nama aku Dewi pasti banyak betul. hehehe. sekarang tinggal cari jalan tengahnya kali ya. mending kasih nama 2 lah minimal, biar ga ribet kalo traveling.
thanks ya sudah mampir. kabari2an kalo udah mau ke Jepang ya 🙂
Tulisan yg bagus. Manusia dilahirkan sebagai orang bebas. Sy berpandangan bahwa di umur yg dewasa seseorang boleh mengganti namanya sesuai kehendaknya. Tidak sedikit cerita orang ganti nama karena terlalu “berat” pemberian dari orang tuanua.
Budi: thanks ya apresiasinya. hehehe, iya gimana baiknya aja, Bud. yang penting kita bahagia dengan pilihan itu. Ga sedikit orang yang ganti nama karena “berat”. Bung Karno aja dulu namanya Kasno, sebelum akhirnya diganti Karno karena dia sering sakit 🙂
Assalamualaykum warrahmatullahi wabarakaatuh
Menarik banget ini baca tulisannya mbak Dewi. Saya juga punya problem itu sejak tinggal di Australia.
Oh ya sebelumnya salam kenal ya mbak. Hehehe..
Btw mbak karena kita ga punya nama keluarga, jadi apakah boleh mengulangi nama sendiri di kolom last name?
Misalnya nama saya kan Silih Warni, jadi penulisannya bakalan Silih Warni Silih Warni gt ya?
Mohon advice nya ya mbak
Jazakillah khairan
sw