Saya bertemu Presiden Clinton! Jumat, 20 November 2009 bisa jadi salah satu hari yang bersejarah dalam hidup saya. Siang itu, saya bercakap-cakap dengan President Clinton bersama rekan-rekan sekelas. Tiga jam lamanya, sekitar 40an mahasiswa Clinton School for Public Service, sekolah yang dibangun atas namanya, bisa bertanya jawab dengan presiden Amerika ke-42 ini.
Terlahir tanggal 19 Agustus 1946, William Jefferson Clinton adalah salah satu presiden termuda di Amerika. Menurut Wikipedia, dia adalah presiden termuda ketiga setelah Theodore Roosevelt dan John F. Kennedy ketika terpilih dan masuk istana. Satu yang tidak bisa saya lupa, Presiden Clinton pernah bertemu Presiden Kennedy ketika dia masih kuliah. Presiden Kennedy pun bilang bahwa Bill akan jadi presiden kelak. Ramalan yang tepat, atau bisa jadi ini adalah ramalan yang dipenuhi sendiri.
Perpustakaan Kepresidenan (Presidential Library)
Sebelum mulai ke pelajaran yang saya petik, saya akan menulis dahulu kenapa Presiden Clinton datang ke sekolah. Perpustakaan Presiden Clinton adalah satu dari 13 perpustakan kepresidenan yang ada di Amerika Serikat. Dua belas perpustakaan kepresidenan yang lain mendokumentasikan kepresidenan presiden Herber Hoover (saya baru tau ada presiden Amerika bernama ini), Franklin D. Roosevelt (FDR), Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John F. Kennedy (JFK), Lyndon B. Johnson, Richard Nixon, Gerald R. Ford, Jimmy Carter, Ronald Reagan, George H.W. Bush, dan anaknya George W. Bush. Pada November 2009, Perpustakaan Presiden Clinton berulang tahun yang kelima. Itu juga ulang tahun sekolah kami yang kelima. Sekolah kami mulai beroperasi ketika perpustakan ini dibuka untuk umum. Jadi, Presiden Clinton datang ke sekolah untuk perayaan ini.
Kunjungan tiga hari
Kunjungan sekolah dibagi dalam tiga hari, Rabu sampai Jumat. Rabu, saya datang untuk jamuan makan siang ketika Presiden Clinton mengucapkan terima kasih kepada warga Arkansas yang telah banyak membantu dia ketika dia masih gubernur, lalu presiden, lalu sekarang ketika Presiden Clinton masih aktif ikut serta dalam perdamaian dan pembangunan dunia. Saya sudah sempat bersalaman. Pada hari Kamis, saya kembali datang untuk jamuan makan malam. Presiden Clinton datang untuk memberikan penghargaan kepada para sukarelawan yang telah ikut membangun dan membantu operasional perpustakan lima tahun terakhir. Saya sempat berfoto bersama malam ini.
Yang bisa saya petik dalam dua hari pertama kunjungannya adalah Presiden Clinton adalah presiden yang sangat personal. Ketika ada yang menyalami dia, dia akan melihat mata dan berusaha menciptakan pembicaraan. Dia berusaha mengakomodasi semua orang. Bahkan ketika saya belum berfoto dan dia sudah keburu jalan menyalami orang lain, balik lagi dan bilang, kamu belum difoto ya. Presiden Clinton mendengarkan orang satu demi satu, dan yang lebih hebat lagi, ketika sudah bertemu beberapa kali, dia akan bisa ingat nama depan kita. Saya yakin dia berlatih keras, tapi saya juga yakin ini adalah lambang dari ketulusan hatinya.
Tiga jam di hari Jumat
Jumat jam 11 pagi. Saya baru selesai menghadiri workshop penelitian kualitatif. Alhamdulilah saya bisa duduk di bangku nomor dua dari depan. Saya bisa duduk sangat dekat dengan seorang presiden Amerika. Bahkan saya belum pernah sedemikian dekat secara fisik dengan presiden Indonesia. Saya jadi ingat reaksi Ibu saya ketika melihat foto saya dengan Presiden Clinton. Beliau bilang betapa beruntung saya bisa bertemu orang-orang besar, padahal bertemu dengan golongan mereka di Indonesia bukan hal yang mudah.
Setiap siswa harus mempersiapkan pertanyaan untuk Presiden dalam tiga jam itu. Pertanyaan yang saya masih ingat adalah pertanyaan Faisal Umar, rekan saya dari Aceh. Dia bertanya bagaimana pendapat Presiden Clinton soal kontroversi hadiah Nobel yang diterima Presiden Obama di belum genap 100 hari dia menjabat. Faisal juga menanyakan bagaimana pendapat Presiden Clinton soal seberapa penting posisi Indonesia di peta dunia ini. Saya sudah tidak ingat lagi bagaimana persisnya Presiden menjawab soal hadiah Nobel, tapi saya masih ingat jawaban dia soal Indoensia. Presiden mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara sangat penting, apalagi ditambah Indonesia adalah negara dengan populasi Islam terbesar. Presiden Clinton mengatakan bahwa praktek-praktek keagamaan di Indonesia tergolong luar biasa mengingat Indonesia terdiri dari 17ribu pulau, lebih dari 700 suku bangsa, dan 500 bahasa daerah.
Pertanyaan berikutnya yang masih saya ingat adalah pertanyaan Ryan Olson. Kawan saya dari negara bagian Washington ini bertanya apa kesamaan seluruh umat manusia yang pernah ditemui Presiden Clinton ketika dia melakukan perjalanan hampir ke seluruh dunia. Presiden menjawab dengan sangat apik. Dia menjawab bahwa semua manusia itu pada dasarnya sama. Yang harus selalu diingat, apalagi di zaman yang serba pragmatis ini, adalah kemampuan untuk terus sadar. Sadar bahwa kita tidak hidup sendiri, kemampuan untuk bisa membayangkan bagaimana berada di sepatu orang lain, kemampuan bagaimana untuk tidak cari selamat sendiri, dan kemampuan bagaimana menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada. Selanjutnya, Presiden juga mengatakan yang penting adalah mengenal diri sendiri, mengenal potensi diri sendiri, dan bagaimana kita berperan di dunia ini. Dia juga mengatakan, semua peran baik di dunia tidak ada yang kecil dan tidak ada yang tidak penting. Luar biasa.
Presiden Clinton juga bercerita tentang Rwanda setelah peristiwa penghancuran sebuah kelompok manusia atau genocide. Peristiwa ini terjadi di tahun 1994 ketika terjadi pembunuhan 500ribu sampai 1juta penduduk Rwanda. Presiden Clinton sempat ke sana. Sempat melihat bagaimana Rwanda bangun lagi. Dalam kunjungan terakhirnya, Presiden Clinton menjadi saksi bagaimana perempuan dihargai di parlemen Rwanda, dan bagaimana orang-orang Rwanda memaafkan dosa-dosa konflik masa lalu.
Terus terang, saya jadi ingat Aceh ketika Presiden Clinton bicara soal Rwanda. Cerita ini tidak sama, tapi serupa. Masih hangat di ingatan kita bagaimana konflik terjadi di antara masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat Republik Indonesia. Konflik menahun. Saya berharap jiwa orang-orang Aceh, khususnya, dan orang-orang Indonesia, umumnya, sebesar jiwa orang-orang Rwanda. Untuk terus maju dan tidak melihat ke belakang.
Presiden Clinton juga bercerita kunjungannya ke Aceh. Kunjungannya beberapa bulan bersama Presiden Bush senior setelah tsunami terjadi. Dia menceritakan dengan jelas bagaimana keadaan Aceh pasca tsunami. Beliau sempat mengunjungi tenda-tenda darurat, melihat bagaimana orang-orang bertahan hidup. Mendadak saya ingat suami saya itu, Saiful Azhari. Saya ingat bagaimana dia bertahan hidup bersama ribuan warga Aceh yang selamat dari tsunami lainnya. Karena saya pun sangat mudah menagis, saya tidak sanggup membendung airmata saya mengalir. Di depan Presiden, saya menangis.
Di akhir tiga jam itu, habis sudah jatah pertanyaan untuk para siswa. Padahal saya sudah menunjuk tangan berkali-kali. Sebelumnya saya ingin bertanya soal apakah demokrasi sebagai sistem bernegara masih bisa bertahan dari terorisme dan perang yang terus terjadi. Tapi ketika Presiden Clinton mengijinkan saya bertanya, saya bertanya hal-hal yang santai saja. Setelah sebelumnya saya berterima kasih atas beasiswa Fulbright Tsunami yang ada karena dibiayai oleh Clinton-Bush Foundation, saya bertanya bagaimana beliau tetap bisa membaca buku dan bermusik di tengah waktunya yang sibuk. Dia mengatakan dia menghabiskan banyak waktu di pesawat ketika dia melakukan perjalanan untuk membaca. Tapi dia mengatakan bahwa membaca itu pasti ada waktu. Harus ada waktu untuk membaca.
Saat dekan saya sudah mengirim tanda tanya jawab sudah habis, Presiden Clinton lantas menunjuk kawan saya Latif Salem dari Afghanistan. Presiden Clinton bertanya apa pendapat dia soal pengiriman tentara ke Afghanistan. Latif pun menjawab bahwa dia melihat pengiriman tentara itu cukup beralasan, tapi harus disertai paradigma baru. Paradigma untuk membantu kepolisian dan tentara Afghanistan untuk bisa mempertahankan diri sendiri. Sungguh luar biasa melihat bagaimana Presiden masih ingat Latif yang sempat ditemuinya di hari Kamis.
Akhirnya harus selesai juga. Setelah berfoto bersama, Presiden masih juga di situ untuk menjawab pertanyaan teman-teman saya yang tidak kunjung habis. Ketika asik mendengarkan, Presiden Clinton sempat memegang tangan saya dan mengatakan, “Maaf, tadi saya tidak maksud membuat kamu menangis.” Saya lantas kaget. Presiden ingat betul saya menangis. Saya menjawb bahwa saya tidak apa-apa, saya hanya ingat suami saya yang pemberani sekali. Suami saya yang luar biasa karena tidak mau dikasihani dan terus hidup di atas kakinya sendiri. Bukan hal yang mudah untuk dia seteah kehilangan ayah, ibu, adik, beberapa keluarga besar, rumah, dan toko. Tapi dia bisa. Dia bisa dan akan terus begitu.
Presiden Clinton adalah seorang presiden yang menjabat untuk dua periode. Di masanya menjabat, bisa dibilang Amerika Serikat berada di puncak kejayaannya. Perekonomian yang mulai bangkit setelah cukup habis karena perang Irak I, pengangguran yang berhasil ditekan, dan Amerika yang hampir berhasil mendamaikan Israel-Palestina. Hampir saja, kalau dia tidak tertimpa kasus Monika dan Issac Rabin tidak meninggal dunia.
Tiga hari yang cukup luar biasa. Saya belajar untuk terus mengenali diri saya sendiri dan berperan sesuai kapasitas saya. Saya belajar bahwa sikap rendah hati itu berlaku dimana-mana, dan semakin hebat manusia, mustinya dia semakin rendah hati. Saya belajar untuk bisa personal dengan semua orang, seperti halnya Presiden Clinton bisa ingat nama depan orang-orang dan mendengarkan dengan seksama. Saya juga belajar bagaimana Presiden Clinton tetap menghargai lawan-lawan politknya, misalnya Presiden Bush dan tetap bisa bekerja sama. Terakhir, saya sangat kagum bahwa dia tidak pernah berhenti berkontribusi kepada dunia setelah dia pensiun. Beberapa kompetensi yang bisa jadi mahal untuk dimiliki pemimpin-pemimpin Indonesia hari ini.
Little Rock, 9 Februari 2010 1:10AM