Menangis

Saya ini gampang sekali menangis. Lihat sedikit yang sedih dan mengharukan saja, air mata saya bisa mengalir. Siang ini misalnya. Saya melihat tayangan Kick Andy di website Metro TV soal Iwan Fals yang akhirnya mau bicara di acara ini. Saya menangis ketika Andy berhasil mempertemukan Iwan dengan kawan-kawan lamanya. Saya menangis ketika Iwan dan Yos istrinya bercerita ketika Galang Rambu Anarki anaknya meninggal dunia. Saya menangis ketika Iwan menyanyikan lagu Aku Menyayangimu, sebuah musikalisasi puisi Kiai Haji Mustofa Bisri. Ah, saya memang tidak bisa lepas dari air mata.

Pernah saya berpikir apakah saya ini perempuan yang cengeng karena saya gampang sekali menangis. Tapi kok saya sanksi, karena sekenalnya saya dengan diri saya sendiri, saya ini tidak cengeng. Saya kuat. Saya perkasa. Seorang sahabat saya pernah berkata, frekuensi saya menangis bisa jadi hampir sama banyaknya dengan frekuensi saya tertawa. Ada-ada saja, saya pikir. Tapi, pengamatan kawan saya itu mungkin ada benarnya. Continue reading “Menangis”

Sendu Rindu, Remuk Redam

Akhir-akhir ini saya tidak bisa tidur di bawah jam 1 pagi. Bahkan biasanya bisa sampai hampir jam 3 pagi. Seperti pagi ini lagi, saya kembali tidak bisa tidur. Bisa jadi, karena saya minum kopi jam 8 malam tadi, tapi biasanya tubuh saya yang sudah penuh kafein ini asik-asik saja. Seringkali bahkan untuk tidurpun saya perlu kafein. Ah, dasar ketagihan kopi.

Saya tahu kenapa saya tidak bisa tidur. Bukan kafein jawabannya. Saya sedang sakit rindu kronis. Betul sekali, tampaknya konyol bukan? Tapi setelah saya analisis, setelah saya berdoa, dan jujur pada diri sendiri, saya sepertinya memang rindu. Banyak yang saya rindukan, salah satunya adalah suami saya itu. Baru 11 bulan kami menikah ketika saya harus berangkat sekolah ke Amerika. Ini sudah keputusan berdua yang kami piih dengan sadar dan dewasa, bahwa kami akan berpisah secara fisik. Kami sudah tahu konsekuensinya, salah satunya ketika harus merindu seperti ini. Continue reading “Sendu Rindu, Remuk Redam”

Tidak Bisa Membeku

Dalam sebuah perjalanan
Aku pernah melihat lautan salju
Lembut dan dingin

Berlomba-lomba jatuh
Memutihi kota
Dinginnya merontokkan dedaunan

Menghalau segarnya bunga-bunga
Menghentikan hijaunya rumput
Membuat licin jalan-jalan

Tanganku tak terasa
Hidungku berair
Kudukku merinding

Dingin itu menjalar
Lewat telinga, lutut,
Dan masuk ke pori-pori kulit

Bahkan coklat panas
Tidak mampu menghalaunya pergi

Tanpa sadar
Aku pun ikut membeku
Seiring dengan mentari yang tak kunjung datang
Senja yang alpa
Dan bulan yang tertidur karena kedinginan

Bisa jadi,
Aku memang rindu sinar matahari
Emasnya senja, dan senyum rembulan

namun,
satu yang pasti,

Dia itu masih saja aku rindu
Sayu matanya
Renyah tawanya
Lembut tatapannya
Hangat candanya

Ternyata,
hangatku
tidak mempan tertembus dingin salju
rinduku,
tidak pergi tertiup angin musim dingin
dan cintaku,
ternyata tidak bisa membeku

Little Rock, 27 Januari 2010 21:33

putih

St. Elmo’s Fire: perjalanan mengenali diri

“Yang fana adalah waktu, kita abadi”

(Sapardi Joko Damono, 1978)

Saya akhirnya menonton juga film St. Elmo’s Fire, film lama dari tahun 1985. Saya sudah sejak lama suka soundtrack-nya. Mungkin pernah dengar alunan piano merdu dari David Foster, sang maestro dari Canada, mengalunkan instrument berjudul yang sama, atau Man in Motion yang dinyanyikan oleh John Parr. Lagu ini, belakangan, diaransemen ulang oleh David Foster dan dinyanyikan lagi oleh Michael Johns, finalis ajang pencari bakat American Idol. Sudah lama sekali saya mencari film lawas ini, akhirnya nemu juga.

Film ini mengambil setting di kota Washington D.C, ibukota Amerika Serikat. Tersebutlah tujuh orang lulusan Universitas Georgetown yang selalu menghabiskan waktu bersama-sama, seakan-akan tidak terpisahkan. Nge-gank bahasa gaulnya. Continue reading “St. Elmo’s Fire: perjalanan mengenali diri”

Milk (bukan susu)

Tulisan ini bisa jadi membutuhkan sebuah pikiran terbuka untuk membacanya. Buat yang merasa tidak nyaman diskusi terbuka, sebaiknya tidak perlu membaca note ini.

Baru saja saya selesai menonton film berjudul MILK. Awalnya, saya pikir ini film tentang susu, mengingat MILK dalam bahasa Inggris artinya susu. Namun, tidak ada hubungannya dengan susu, MILK ternyata adalah seorang politisi Amerika. Yang belum menonton mungkin bertanya, apa yang menarik dari MILK sehingga kisah hidupnya diangkat ke dalam film yang juga menggondol dua Piala Oscar untuk kategori aktor pria dan penulisanscreenplay ini. Jadi, siapakah MILK? Continue reading “Milk (bukan susu)”

Tentang Resolusi Tahun Baru

Tahun baru, biasanya identik dengan yang namanya resolusi. Saya, dan bisa jadi Anda, biasanya punya resolusi-resolusi baru yang ingin dicapai di tahun berikutnya.

Sebenarnya apa yang disebut resolusi itu? Sebuah blog (Frans Nadeak) mengatakan bahwa resolusi artinya ketetapan hati, atau kebulatan tekad untuk setia melaksanakan apa yang sudah disepakati seseorang dengan dirinya sendiri.

Saya pernah bertanya-tanya kenapa resolusi biasanya dibuat atau digembar-gemborkan untuk dibuat ketika tahun baru itu datang. Kenapa tidak membuat resolusi kapan saja ketika kita berpikir kita ingin membuat sebuah resolusi. Continue reading “Tentang Resolusi Tahun Baru”

Pahlawan?

Saya baru ingat. Sepuluh November kemarin itu hari Pahlawan. Hampir lupa. Mungkin karena sudah tidak pernah lagi ikut upacara bendera.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2001:812) menyebutkan pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani.

Namun, siapakah yang sebenarnya bisa disebut pahlawan? Apakah mereka yang mati di medan laga, mereka yang dikubur di taman makam, mereka yang kaya dan bisa membagi-bagi rezekinya dengan leluasa, selebriti yang mengadopsi anak dari berbagai negara, yang masuk KPK memberantas korupsi, atau bisa siapa saja yang senyum dengan tulus, bertanya kabar dengan sungguh-sungguh, memeluk ketika ada yang sedih? Apakah mereka yang kadang terlupakan modernitas seperti tukang sapu, pemulung, tukang sampah, tukang pencatat listrik, penjaja koran, atau pedagang asongan? Continue reading “Pahlawan?”

Nikmat Itu Tidak Selamanya

Suami saya kehilangan ayah, ibu, adik laki-laki, toko, dan rumah. Dalam 15 menit, ketika gelombang tsunami menghempas Banda Aceh hampir 5 tahun yang lalu.

Tulisan ini bukan soal minta dikasihani karena kehilangan itu, atau karena ingin mengingat lagi masa lalu. Saya baru saja pulang melihat film dokumenter “Warrior Champion: From Baghdad to Beijing”, sebuah film tentang bagaimana veteran tentara Amerika yang kehilangan kaki dan tangan mereka dalam perang, tapi berhasil mengikuti olimpiade untuk penyandang cacat. Saya melihat bagaima mereka berjuang untuk terus bertahan hidup dan tidak menjadi gila karena kehilangan hal-hal yang sangat berharga dalam hidup manusia: fisik yang lengkap. Yang seringkali kita berpikir fisik kita yang lengkap itu sudah otomatis semestinya begitu dari sononya.

Seperti halnya suami saya tercinta itu. Saya masih saja kagum kekuatan hatinya untuk melanjutkan hidupnya dengan cara-cara yang terhormat paska kehilangan keluarga, rumah, dan toko. Dia tidak gila, dia tidak jadi pencuri, dan dia terus memperlihatkan kekuatan manusia yang sebenarnya. Saya tidak terbayang, bagaimana suami saya bisa berdamai dengan kehilangan dasyat orang-orang dan hal-hal yang penting dalam hidupnya, yang seringkali kita berpikir, bahwa mereka otomatis hadir dalam hidup kita. Continue reading “Nikmat Itu Tidak Selamanya”