Nikmat Itu Tidak Selamanya

Suami saya kehilangan ayah, ibu, adik laki-laki, toko, dan rumah. Dalam 15 menit, ketika gelombang tsunami menghempas Banda Aceh hampir 5 tahun yang lalu.

Tulisan ini bukan soal minta dikasihani karena kehilangan itu, atau karena ingin mengingat lagi masa lalu. Saya baru saja pulang melihat film dokumenter “Warrior Champion: From Baghdad to Beijing”, sebuah film tentang bagaimana veteran tentara Amerika yang kehilangan kaki dan tangan mereka dalam perang, tapi berhasil mengikuti olimpiade untuk penyandang cacat. Saya melihat bagaima mereka berjuang untuk terus bertahan hidup dan tidak menjadi gila karena kehilangan hal-hal yang sangat berharga dalam hidup manusia: fisik yang lengkap. Yang seringkali kita berpikir fisik kita yang lengkap itu sudah otomatis semestinya begitu dari sononya.

Seperti halnya suami saya tercinta itu. Saya masih saja kagum kekuatan hatinya untuk melanjutkan hidupnya dengan cara-cara yang terhormat paska kehilangan keluarga, rumah, dan toko. Dia tidak gila, dia tidak jadi pencuri, dan dia terus memperlihatkan kekuatan manusia yang sebenarnya. Saya tidak terbayang, bagaimana suami saya bisa berdamai dengan kehilangan dasyat orang-orang dan hal-hal yang penting dalam hidupnya, yang seringkali kita berpikir, bahwa mereka otomatis hadir dalam hidup kita.

Seringkali manusia melihat hal-hal yang ada di dunia ini dan yang terjadi dalam hidup mereka, adalah yang mustinya begitu, selamanya menjadi miliknya, dari sononya.

Misalnya udara bersih. Seberapa seringnya kah kita berpikir bahwa udara bersih ini dari sononya. Sempatkah kita berpikir bahwa udara bersih itu hadir karena masih ada hutan, masih ada orang yang mau menanam pohon, dan usaha-usaha yang memang dilakukan banyak manusia untuk menjaganya tetap bersih. Berikutnya, kicau burung. Pernahkah kita berpikir bahwa kita lama-lama bisa kehilangan kicau burung yang kita pikir dari sononya itu, ketika mereka tidak punya lagi pohon-pohon untuk dihinggapi. Atau hal-hal yang lebih bersifat internal manusia. Seberapa seringkah kita bersyukur akan sehat yang kita punya? Atau akan fisik lengkap yang kita miliki? Bisa jadi pernah, tapi mungkin tidak sering.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra, sebuah organisasi lokal di kawasan Cilandak, Jakarta. Organisasi ini bergerak di bidang pendampingan para penyandang tuna netra yang dulunya bisa melihat dengan normal. Mungkin mereka mengalami kecelakaan atau sakit, sehingga mereka kemudian tidak bisa melihat. Saya tidak bisa membayangkan bila itu terjadi pada saya. Betapa saya sering lupa bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan bernama pengelihatan.

Film tadi membuat saya terhenyak. Saya jangan-jangan sering menjadi manusia yang begitu. Saya rajin mengeluh. Saya rajin menghitung betapa banyak penderitaan saya. Saya terpukau dengan sedu sedan saya. Padahal saya seperti hidup di surga. Saya sedang diberi hal-hal terbaik yang pernah saya bayangkan. Fisik yang lengkap dan normal, badan yang sehat, keluarga yang luar biasa, suami yang penuh cinta, dan kesempatan belajar ke luar negeri. Namun, saya takut, saya tidak mensyukurinya sebanyak saya mengeluh.

Hampir 30 tahun saya hidup di dunia ini. Saya kembali disadarkan bahwa saya belum berbuat banyak untuk dunia ini. Hutang saya belum saya bayar. Saya berhutang kepada yang cacat, kepada yang miskin, dan kepada yang kurang beruntung. Saya kembali berpikir, seberapa banyak saya bersyukur dan membantu orang banyak dengan keberuntungan dan nikmat yang saya punya.

Karena nikmat itu, tidak otomatis terjadi. Karena nikmat itu tidak selamanya. Karena nikmat itu, bisa Tuhan ambil kapan saja. Bahkan Muhammad sang Rasul pun berkata, peliharalah 5 perkara sebelum datangnya 5 perkara: hidupmu sebelum matimu, masa mudamu sebelum masa tuamu, saat sehatmu sebelum saat sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu dan era kayamu sebelum era miskinmu…

Bahkan cintapun harus dipupuk, bahkan persahabatan pun harus dijaga. Tidak otomatis. Tidak selamanya. Dan bisa hancur kapan saja.

Little Rock, 13 November 2009 00:06
baru saja bom bunuh diri meledak di Peshawar, Pakistan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *