Belajar dari Tifatul

Tulisan ini bersifat refleksi semata dari kejadian jabat tangan Tifatul dan Michelle Obama. Selanjutnya Tifatul akan saya singkat dengan Tif.

“Harusnya, kita berterima kasih lho Wi sama Fir’aun. Kalau tidak ada yang mengambil peran di sisi yang tidak baik, maka kita tidak akan tahu bagaimana menjadi baik.”

Kalimat itu sering terngiang-ngiang di telinga saya. Dalam perjalanan pulang dari kantor beberapa tahun yang lalu, ketika saya menumpung mobil Ariono Margiono kawan saya, dia mengatakan hal itu. Hal yang membuat saya tertegun untuk kesekian kalinya.

Saya kemarin hampir keracunan berita Tifatul Sembiring yang berjabat tangan dengan Michelle Obama. Di banyak media, termasuk media asing, berita ini terus bermunculan. Bahkan di pagi ini, di dua suplemen koran terbitan Washington Post, berita ini masuk juga. Saya tidak kenal Tifatul, saya hanya tahu dia lewat pemberitaan media. Saya juga tidak ada di tempat kejadian, saya hanya melihat berbagai beritanya dimana-dimana, juga video-nya di Youtube.

Terus terang, saya sempat merasa sangat malu. Saya jarang malu menjadi orang Indonesia bahkan dengan banyak sekali masalah di dalamnya. Tapi kali ini, rasanya kok begitu. Saya belum menganalisis kenapa saya merasa begitu, tapi setidaknya saya punya beberapa asumsi.

1. Soal inkonsistensi

Saya tidak berada pada posisi menghakimi kepercayaan Tif yang tidak mau bersalaman dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Kepercayaan orang, buat saya, tidak ada yang salah selama dia punya dasar dan bisa menjustifikasinya. Yang saya sayangkan adalah soal inkonsistensi. Saya tidak tahu ini benar atau tidak, tapi ada yang pos di Twitter bahwa ketika dia pergi ke Mentawai tanggal 8 November yang lalu, dia tidak mau menjabat tangan para pengungsi perempuan. Dan sekarang, dia menjabat tangan seorang ibu negara. Yang lebih parah lagi, dia menyalahkan orang lain untuk sesuatu yang dia punya kontrol untuk itu. “Sdh ditahan 2 tangan, eh Bu Michele-nya nyodorin tangannya maju banget…kena deh,” begitu tweet Tifatul pada akun Twitter-nya, @tifsembiring (Kompas.com). Luar biasa.

Sidrotun Naim kawan kemudian mem-pos foto di wall Facebook-nya Presiden Iran Ahmadinejad yang juga tidak menyalami orang yang bukan muhrimnya. Di foto ini, sang presiden memilih membungkukkan badannya sedikit dengan elegan ketika seorang perempuan mau menjabat tangannya pada sebuah acara kenegaraan.

Ahmadinejad yang elegan

Dan di foto yang satunya, terlihat Tif tersenyum senang menjabat tangan ibu negara.

PrikiTIF

Saya hanya bisa mengelus dada.

2. Soal tidak berpikir panjang

Bagaimana mungkin seorang pejabat publik tidak berpikir dua kali ketika dia melakukan sesuatu dan mengatakan sesuatu. Di Twitter kemarin itu, ada @GunturRomli yang bilang, sebenarnya yang paling menyakitkan dari kejadian itu adalah bagaimana dia menjustifikasi kejadian itu di akun twitternya. Bisa jadi saya sepakat dengan Guntur Romli. Kalau memang Tif khilaf atau grogi, dan dia dengan ksatria mengakui “kekhilafan”nya dan minta maaf, bisa jadi ini lebih “dimaafkan”. Tentu ingatan orang-orang juga mungkin belum habis akan kata-katanya kepada orang yang HIV/AIDS. Atau pendapatnya soal pornografi. Intinya, tindak tanduk dan ucapan Tif menjadi penting karena dia menduduki jabatan menteri komunikasi dan informasi Republik Indonesia. Apalagi gajinya juga dibayar oleh pajak-pajak masyarakat Indonesia. Pastinya, orang-orang Indonesia, juga luar negeri, akan sedikit banyak menyoroti apa yang pejabat publik katakan dan lakukan. Ini sudah konsekuensi logis.

3. Soal kerja yang belum terlihat

Sekali lagi, ini asumsi dangka karena saya belum pernah mengkonfirmasinya langsung kepada Tif. Tapi saya belum mendengar dan melihat kerja nyatanya selain ‘berkicau’ di akun Twitter. Banyak ucapannya yang menyejukkan hati, tapi banyak juga yang membuat saya ingin mendatanginya dan mencubit pipinya seraya  berkata, “Ih, Bapak lucu deh!” Alih-alih menggunakan Twitter sebagai media komunikasi, Tif seharusnya bisa membuat kampanye-kampanye nyata yang berguna. Misalnya saja, soal kampanye untuk mendidik rakyat Indonesia untuk mengerti dan awas terhadap bencana alam sebagai konsekuensi tinggal di cincin gunung api dan daerah patahan. Tif juga bisa membantu KPK membuat kampanye anti korupsi yang sudah sangat meraja lela dan menjadi industri. Atau apa lah yang lebih berguna.

Saya masih cinta Indonesia, sangat cinta. Saya selalu bermimpi punya pejabat publik yang bisa memberikan contoh dan akuntabel, dua karakter yang sangat langka dimiliki pejabat publik Indonesia saat ini.

Semoga saya bisa belajar dari Tifatul yang sudah mengambil peran memberikan contoh yang kurang baik kemarin itu, setidaknya terhadap saya. Semoga kelak, kalau saya diberi amanah oleh Allah untuk menjadi pejabat publik, saya akan ingat tulisan saya ini.

Terima kasih, Pak Tif. Semoga Allah memberkati. Amin.

Washington, DC, 10 November 2010

Hari yang disebut-sebut sebagai hari Pahlawan

7 Replies to “Belajar dari Tifatul”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *