Perang Untuk Apa: Green Zone

An unjust peace is better than a just war.

Marcus Tullius Cicero


Green Zone bisa jadi hanya sekedar film perang biasa. Tapi buat saya film ini sungguh personal.

Dibintangi oleh Matt Damon, film ini mengambil tempat di Baghdad Irak beberapa saat setelah perang terjadi. Perang

Green Zone (www.imbd.com)

yang dikobarkan Amerika dan sekutu terhadap Irak atas tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal yang katanya dikembangkan oleh Irak dan siap diluncurkan. Tuduhan yang menurut banyak orang, miskin bukti.

Chief Warrant Officer Roy Miller adalah pemimpin kelompok tentara Amerika yang ditugaskan mencari senjata pemusnah massal tersebut. Miller beberapa kali merasa terbohongi oleh intel-intel karena semua tempat  yang katanya terdapat senjata tersebut, ketika didatangi, nihil adanya. Pernah Miller datang ke sebuah tempat. Setelah melalui baku tembak dan sampai di dalamnya, ternyata tempat itu adalah bekas pabrik WC.

Miller tentu tidak tinggal diam. Dalam sebuah rapat koordinasi bersama pemimpin angkatan perang di Irak, Miller mempertanyakan kerja intel yang mencari letak senjata tersebut. Tentu saja dia dan pasukannya tidak mau menjadi sasaran tembak orang-orang Irak ketika mencari senjata tersebut. Dia juga lama-lama curiga jangan-jangan apa yang dituduhkan dunia bahwa keberadaan senjata itu tidak benar adanya, sungguh terbukti.

Miller akhirnya bekerja sama dengan agen CIA yang juga bertugas di Irak. Marty, yang dimainkan oleh Brendan Gleeson, juga sedang mencari Jendral Al Rawi, tangan kanan Saddam Hussein. Miller yang penasaran pun menjadi anak buah Marty dan di satu sisi terus mempertanyakan keberadaan senjata pemusnah massal kepada pejabat pemerintah AS yang menjengkelkan bernama Clark Poundstone, yang dimainkan apik oleh Greg Kinnear.

Selidik punya selidik, Miller pun bertemu dengan seorang wartawati Wall Street Journal, Lawrie Dayne, yang sedang mencari tahu nara sumber beritanya yang bernama Magellan. Magellan adalah sumber orang dalam pemerintahan Irak yang menginformasikan keberadaan senjata tersebut. Mereka sempat bertengkar sengit ketika Miller mengetahui bahwa Lawrie tidak pernah mengkonfirmasi keberadaan senjata pemusnah kepada Magellan. Lawrie membela diri dengan mengatakan bahwa dia dipanggil pejabat gedung putih, diberi sejumlah informasi dari seorang dalam Irak bernama Magellan tersebut.

Miller tentunya kecewa. Dan akhirnya mencari tahu keberadaan Magellan. Setelah berdiskusi dengan Marty, mereka akhirnya mengambil kesimpulan bahwa Jendral Al-Rawi lah sang Magellan tadi. Dia pernah datang ke Amerika untuk menjelaskan bahwa senjata pemusnah massal itu tidak benar adanya. Irak memang pernah mengembangkannya, namun setelah kejadian 11 September 2001, mereka sudah menghancurkan seluruhnya.

Singkat cerita, film ini ditutup dengan pencarian terhadap Jendral Al-Rawi yang berujung kesedihan. Namun, Miller mendapat kepastian dari Al-Rawi sendiri tentang tidak adanya senjata ini. Tentang tidak jelasnya apa penyebab perang Irak yang belum berakhir juga sampai sekarang. Miller pun menulis dan menyebarkannya kepada media-media besar Amerika untuk memberikan fakta lain soal perang Irak. Jangan-jangan, Amerika sendiri tidak tahu kenapa mereka memerangi Irak.

Ada banyak asumsi kenapa perang ini terjadi. Ada yang bilang ini adalah balas dendam anak untuk bapaknya karena Bush senior kalah perang sebelumnya. Ada yang bilang ini adalah untuk minyak. Namun, juga pernah ada yang berteori, ini adalah perang untuk menghancurkan rezim Saddam.

Saya hanya mengelus dada. Karena kalau atas nama menghancurkan rezim, toh Amerika dan sekutu tidak pergi berperang ke negara-negara yang tidak punya “sumber alam” yang menguntungkan mereka. Sebut saja, Zimbabwe. Bertahun-tahun di bawah rezim Robert Mugabe yang kejam, toh tidak ada yang repot mengurusi.

Dewi and Hans Blix (private photo)

Film ini sungguh personal, seperti yang sudah saya katakan tadi. Saya bukan orang Irak, saya hanya seorang warga dunia yang sudah bosan akan perang. Kebetulan, saya pernah bertemu Hans Blix di sekolah saya tahun lalu. Bagi yang lupa siapa Hans Blix, beliau adalah mantan kepala Komisi PBB untuk Monitoring, Verifikasi, dan Inspeksi, sebuah badan PBB yang ditugaskan mencari tahu keberadaan senjata pemusnah massal di Irak. Dia dan timnya bekerja dari bulan Maret 2000 sampai Juni 2003.

Dalam pidatonya di banyak media dan ketika saya sempat makan malam dengan beliau, beliau dengan tegas mengatakan bahwa sungguh dia dan timnya tidak menemukan senjata yang digembar-gemborkan Amerika dan sekutu. Dia dan timnya padahal sudah mencari juga ke daerah-daerah yang diduga terdapat senjata yang ditangkap radar dan diselidiki intel Amerika dan sekutu. Namun, mereka tetap tidak menemukannya.

Saya sempat bertanya apa pernah beliau bertemu dengan Presiden Bush dan kabinetnya di masa itu. Beliau menjawab bahwa beliau pernah bertemu Presiden Bush, Wakil Presiden Dick Cheney, dan Menteri Pertahanan Donal Rumsfeld untuk mengkonfirmasi hal ini. Perang sudah terjadi dan belum berhenti sampai hari ini. Tanda mereka tidak mendengarkan.

Saya tidak pernah menjadi orang Irak. Jadi saya tidak tahu bagaimana rasanya hidup di bawah perang bertahun-tahun. Bisa jadi saya lama-lama setuju dengan pedapat Cicero di atas, bahwa sebuah damai yang terdapat ketidakadilan di dalamnya, lebih baik dibandingkan perang yang entah memperjuangkan apa.

Wallahu alam.

Note: Salah satu pernyataan Hans Blix tentang senjata pemusnah massal bisa diunduh di sini http://berkeley.edu/news/media/releases/2004/03/18_blix.shtml

@DC, 10/5/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *