Carpediem en Mementomori

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Qur’an, Surat Al-Asr, 1-3)

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Al-Qur’an, Surat Ar-Rahman: 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77 **31 kali disebut)

Di sela-sela 14 paper yang harus saya kerjakan di bulan April ini, yang membuat saya belum gila juga, saya kembali ingin menulis untuk bisa menghimpun semangat dan konsentrasi.
Mati
Saya baru saja kepikiran beberapa hari ini, terutama setelah salah seorang kawan baik saya meninggal mendadak di apartemennya minggu lalu. Berita yang sungguh mengejutkan dan menyedihkan di waktu yang sama, apalagi dia masih muda dan tidak punya sakit berat sepengetahuan saya. Saya masih kadang menangis kalau ingat kawan saya ini, apalagi kalau ingat bahwa saya ternyata masih takut dan belum siap mati.

Kematian kawan saya itu membuat saya berpikir keras soal banyak hal, terutama kesiapan saya menghadap Tuhan Allah seorang diri. Kesiapan yang artinya bukan uang yang saya punya, bukan ilmu yang saya pelajari, bukan jabatan yang saya raih, bukan berapa banyak teman yang saya punya, bukan umur yang saya punya. Bukan itu. Lebih kepada amal kebaikan, untuk apa uang, ilmu, jabatan, teman, dan umur. Apakah untuk menciptakan kebaikan, atau malah kerusakan di muka bumi. Continue reading “Carpediem en Mementomori”

Jilbab Saya Diperiksa (Lagi)

“Mam, could you please step aside this way?” an officer said.
“Why? The security door alarm didn’t beep!” I replied.
“It’s your scarf, Mam. We need to screen it,” she explained.

Sudah tiga kali dalam satu bulan terakhir ini. Tadinya saya mau bersikap biasa saja, tapi setelah dipikirkan lagi, ternyata ini agak menjengkelkan.

Peristiwa pertama terjadi di Bandara Little Rock, Rabu 24 Februari 2010. Saya akan pergi ke San Francisco untuk menghadiri seminar Fulbright di sana. Ketika saya melewati pintu detektor, alarm berbunyi. Padahal saya sudah tidak memakai gesper, tapi tetap saja. Bisa jadi ini bros dan peniti yang saya pakai. Petugas perempuan datang. Dengan sopan dia bilang bahwa dia harus memeriksa saya lebih seksama. Dia menawarkan saya untuk diperiksa di tempat atau pergi ke kamar khusus. Saya lebih suka diperiksa di tempat, karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi bila harus diperiksa di kamar khusus. Lagipula saya pikir, orang-orang Amerika harus tahu apa yang dilakukan pemerintahnya terhadap perempuan muslim di negara yang konon adalah negara demokrasi itu.

Peristiwa kedua terjadi di Bandara Internasional San Francisco, hari Senin pagi tanggal 1 Maret 2010. Saya dalam perjalanan menuju Little Rock. Seperti biasa, saya lewat pintu detektor lagi. Hari itu masih pagi. Saya masih mengantuk ketika petugas berkata, “Mam, I need to screen your scarf. Do you mind that?” Dalam hati saya berkata, “Ah, kalau saya bilang tidak boleh, pasti saya akan dapat masalah.” Jadi karena masih pagi dan saya tidak punya energi, saya bilang, “Please!” Tentu saja tidak ada apa-apa, kecuali bila peniti itu juga jadi masalah.

Peristiwa ketiga terjadi hari Rabu kemarin, tanggal 10 Maret 2010 di bandara Houston, ibukota negara bagian Texas. Alarm jelas tidak berbunyi. Tapi tanpa minta izin, petugas itu bilang,“Mam, please go this side.” Saya bertanya, “But the alarm obviously didn’t beep!” Dijawab lagi, “It’s your scarf. I need to screen it.” Saya cemberut. Ingin berantem, tapi masih jam 6 pagi. Saya mengantuk karena baru tidur 3 jam saja. Dia minta saya meraba jilbab saya. Lalu dia mengambil tissue dan menyeka tangan saya. Dia lalu memeriksanya di sebuah mesin. Dan lalu kembali mendatangi saya dan berkata, “Thank you, Mam.”

Saya benar-benar tidak habis pikir. Dua orang kawan saya, perempuan kulit hitam dan laki-laki kulit putih bilang, “Sabar ya, Wi.” Saya cuma tersenyum saja. “Ini sudah tiga kali,” saya jawab. Dan bisa jadi ini belum yang terakhir. Saya tidak masalah diperiksa bila memang alarm-nya bunyi. Tapi bila tidak, ini buat saya adalah diskriminasi.

Pengamanan di bandara-bandara Amerika memang jadi meningkat terutama setelah ada laki-laki Islam asal Nigeria ingin meledakkan pesawat yang menghubungkan Inggris dan Detroit, Amerika Serikat. Beritanya bisa dibaca di sini. Saya setuju bahwa mereka harus memperketat pengamanan karena semua pemerintah wajib melindungi keselamatan negaranya. Tapi saya yakin ada cara yang lebih elegan untuk memeriksa semua orang yang dianggap mencurigakan di bandara tanpa mengurangi rasa hormat. Continue reading “Jilbab Saya Diperiksa (Lagi)”

Belajar dari Bill Clinton

Ngobrol dengan Presiden Clinton (koleksi pribadi)

Saya bertemu Presiden Clinton! Jumat, 20 November 2009 bisa jadi salah satu hari yang bersejarah dalam hidup saya. Siang itu, saya bercakap-cakap dengan President Clinton bersama rekan-rekan sekelas. Tiga jam lamanya, sekitar 40an mahasiswa Clinton School for Public Service, sekolah yang dibangun atas namanya, bisa bertanya jawab dengan presiden Amerika ke-42 ini.

Terlahir tanggal 19 Agustus 1946, William Jefferson Clinton adalah salah satu presiden termuda di Amerika. Menurut Wikipedia, dia adalah presiden termuda ketiga setelah Theodore Roosevelt dan John F. Kennedy ketika terpilih dan masuk istana. Satu yang tidak bisa saya lupa, Presiden Clinton pernah bertemu Presiden Kennedy ketika dia masih kuliah. Presiden Kennedy pun bilang bahwa Bill akan jadi presiden kelak. Ramalan yang tepat, atau bisa jadi ini adalah ramalan yang dipenuhi sendiri. Continue reading “Belajar dari Bill Clinton”

Sendu Rindu, Remuk Redam

Akhir-akhir ini saya tidak bisa tidur di bawah jam 1 pagi. Bahkan biasanya bisa sampai hampir jam 3 pagi. Seperti pagi ini lagi, saya kembali tidak bisa tidur. Bisa jadi, karena saya minum kopi jam 8 malam tadi, tapi biasanya tubuh saya yang sudah penuh kafein ini asik-asik saja. Seringkali bahkan untuk tidurpun saya perlu kafein. Ah, dasar ketagihan kopi.

Saya tahu kenapa saya tidak bisa tidur. Bukan kafein jawabannya. Saya sedang sakit rindu kronis. Betul sekali, tampaknya konyol bukan? Tapi setelah saya analisis, setelah saya berdoa, dan jujur pada diri sendiri, saya sepertinya memang rindu. Banyak yang saya rindukan, salah satunya adalah suami saya itu. Baru 11 bulan kami menikah ketika saya harus berangkat sekolah ke Amerika. Ini sudah keputusan berdua yang kami piih dengan sadar dan dewasa, bahwa kami akan berpisah secara fisik. Kami sudah tahu konsekuensinya, salah satunya ketika harus merindu seperti ini. Continue reading “Sendu Rindu, Remuk Redam”

Teringat masa lalu

Iseng-iseng saya tadi melihat email-email saya terdahulu, kembali pada masa-masa kuliah dulu. Kira-kira sekitar 11 tahun yang lalu, saya lulus SMA. Wow, 11 tahun bukan waktu yang sebentar. Di email-email tersebut, terdapat beberapa nama teman-teman saya yang saat ini sudah agak jarang bertegur sapa. Email-email tersebut tentunya saling menceritakan proses hidup, kebanyakan proses ketika akan lulus dulu. Bagaimana sulitnya membuat skripsi, bagaimana sulitnya mengejar-ngejar dosen, bagaimana sulitnya berpacaran, semuanya komplit di email-email tersebut. Continue reading “Teringat masa lalu”

Mantan

Seorang mantan tiba-tiba kembali dekat dengan saya akhir-akhir ini. Entah kenapa, tiba-tiba jadi sering menelpon, membagi hidup, meminta saran, juga mengobrol dengan intens. Hal-hal yang dulu jarang saya lakukan dengan dia karena kami terpisah ribuan mil, kami berbeda negara. Saya yang ada di Indonesia dan dia yang belajar di Jerman. Komunikasi kami yang sangat terbatas toh akhirnya tidak membuat kami bertahan.

Saat ini, dirinya pun sudah kembali ke Indonesia. Walau masih juga dipisahkan laut, namun yang pasti, menelpon dia memakai pulsa lokal, bukan international. Menghubungi kembali juga kemudian menjadi pilihan. Bukan berarti kembali lagi pacaran seperti dulu, namun hanya hubungan pertemanan murni. Setidaknya begitulah pilihan saya. Continue reading “Mantan”

Merasa sendiri

Saya seringkali takut merasa sendirian. Saya tidak takut sendiri, tapi merasa sendirian bagi saya bukan hal yang menyenangkan. Padahal, saya selalu menganggap saya mandiri, saya bisa melakukan hal-hal sendiri. Namun, tetap saja, bila perasaan itu datang, saya tidak tahu mau sembunyi dimana.

Mungkin bukan sembunyi, tapi bagaimana mengatasinya. Hari ini, saya sedang sakit. Sudah dua hari tepatnya, flu berat ditambah batuk membuat demam datang. Akhirnya, tinggal di rumah menjadi satu-satunya pilihan. Saat ini, ada konser Ungu dan Samson, sebuah perpaduan yang menarik di kota kecil Banda Aceh ini. Pacar saya kebetulan juga sedang sibuk, maka laptop, radio di handphone, dvd dan buku menjadi teman baik saya. Continue reading “Merasa sendiri”

Shut your mobile down while you’re in the craft

Mungkin banyak orang yang belum mengamini kenapa mereka harus mematikan telepon genggamnya dan sama sekali tidak boleh dinyalakan selama berada di dalam kabin pesawat terbang.

Pesawat terbang modern sangat bergantung kepada gelombang radio untuk menjalankan berbagai fungsi, termasuk komunikasi dengan menara kontrol, navigasi dan pengaturan udara di dalam kabin. Intervensi gelombang rdio yang berasal dari telepon genggam dapat mengacaukan fungsi-fungsi ini.

Pemakai telepon genggam mungkin tidak menyadari, bahwa dalam keadaan standby pun, telepon genggam tetap memancarkan sinyal elektromagnetis yang berfungsi memberitahu komputer di jaringan telepon selulernya bahwa telepon genggam tersebut di dalam keadaan aktif dan dapat dihubungi. Sinyal tersebut kan sekin kuat ketika pemancar di base terminal station (BTS) berkomunikasi dengan telepon genggam untuk menyampaikan panggilan ataupun mengirimkan pesan singkat (SMS). Continue reading “Shut your mobile down while you’re in the craft”